Kamis 02 Aug 2012 11:13 WIB

Pelajaran Hidup dari Profesor

Prof. Jungha Yoo (di tengah, berkaca mata).
Foto: Asep Sapaat
Prof. Jungha Yoo (di tengah, berkaca mata).

“Anda tak perlu menjadi profesor dulu jika hendak membuat sebuah buku,” tegas dosen saya.

Pesan itu masih tertancap kuat di benak. Pesannya tegas dan jelas, lakukanlah kebiasaan produktif layaknya seorang profesor.

Jangan fokus untuk sekadar kejar titel profesor. Profesor, garansi untuk sebuah pencapaian yang membanggakan dan penuh kehormatan. Gelar tertinggi bagi setiap insan yang berkecimpung di dunia akademik. 

Menyebut kata "profesor", ada kenangan hidup yang takkan pernah terlupakan. 2010 silam, saya sempat hadiri konferensi internasional di Hong Kong. Di salah satu sesi paralel, saya bersama 2 profesor dan 1 kandidat doktor berkesempatan sharing gagasan serta pengalaman riset kami masing-masing. 

Saya gugup. Ini kali pertama bisa presentasikan gagasan di forum level internasional. Saya anak muda, gelar saya masih S.Pd. (Sarjana Pendidikan). Saya tahu diri. Kapasitas saya masih jauh dari ketiga penyaji lainnya.

Saya punya banyak alasan untuk tampil tak pede. Entah mengapa, tiba-tiba saya lihat bendera merah putih. Semangat saya pun berkobar. “I’m proud to be Indonesian,” bisik hati saya.

Kesempatan ini sangat langka. Momentum penting yang harus saya manfaatkan untuk tunjukkan kualitas orang Indonesia. Meski saya bukan duta besar Indonesia, saya sadar sekali apa yang saya lakukan bisa coreng atau angkat nama baik Indonesia. “Berikan yang terbaik yang bisa saya lakukan,” itu kata hati saya. 

Anda pernah merasa sangat ketakutan? Ilmunya sederhana. Lakukan apa pun yang kamu takutkan. “Practices makes perfect,” saya percaya itu.

Tiba saat saya memperoleh giliran presentasi. Satu menit pertama yang mendebarkan. Saya ambil nafas dalam-dalam. Mulailah saya sajikan hasil kajian di depan forum.

Ajaib, setelah lewat menit pertama, saya malah makin menikmati suasana itu. Satu per satu saya perhatikan sorot mata dan gerak tubuh para audiens, mereka sangat respek dengan apa yang saya sampaikan. Terlebih, mengamati kedua profesor yang persis duduk di depan saya.

Ketika presentasi selesai, ada 2 audiens yang bertanya. Saya tetap merasa dag dig dug, namun kedua pertanyaan tersebut dapat terjawab, "PLONG" rasanya. 

Setelah semua penyaji selesai menyampaikan hasil kajiannya masing-masing, saya didatangi oleh seorang profesor. Sosok tinggi berkaca mata ini berkata, “Kajian Anda sangat menarik. Terima kasih telah berkenan berbagi dengan kami.”

Mata saya terbelalak. Saya dibuat tak percaya. Ini bukan orang sembarangan. “Apa tidak salah orang sekelas profesor mengucapkan terima kasih karena mendapatkan sesuatu dari kajian saya,” batin saya kembali berbisik.

“Terima kasih profesor. Saya masih perlu banyak belajar. Bolehkah saya belajar banyak dari profesor?” jawab saya segera.

“Silakan,” jawabnya tegas disertai senyum yang mengembang di bibirnya.

Alamak, mimpi apa saya semalam. Jujur, bagi saya, hal ini teramat istimewa. Di Indonesia, saya belum pernah mendapatkan perlakuan seperti ini dari seorang profesor. Berharap hanya soal waktu saja. Saya tidak butuh pujian. Cukup respek saja.

Sekadar sharing, saya pernah "dihabisi" di forum seminar nasional pendidikan. Perkaranya, saya keliru menyajikan data.

Saya akan terima jika diingatkan, karena hakikatnya forum seperti ini untuk mengukur kekuatan serta kelemahan diri. Tapi, jika dipermalukan oleh orang sekelas profesor, saya jadi bertanya, “Apakah tidak ada cara yang lebih baik untuk meluruskan pemahaman anak muda yang sedang belajar?”

Beruntung, saya termasuk anak muda yang "bandel". Saya tidak kapok dengan kejadian itu. Hikmahnya ada dua. Pertama, saya belajar untuk lebih hati-hati dalam menyajikan data-data ilmiah. Kedua, andai saya jadi profesor, saya harus punya kebijaksanaan untuk membantu orang lain bisa sadar dengan kesalahannya tanpa menghancurkan kehormatannya. 

Kembali ke cerita tentang profesor yang saya temui di Hong Kong. Ada apa dengan profesor itu? Saya coba menagih janjinya karena bersedia membimbing saya untuk belajar tentang suatu kajian ilmiah. Saya kirimkan email berisi pernyataan ketertarikan saya untuk mendalami hasil kajian beliau yang dipresentasikan di Hong Kong.

Di email tersebut, saya sempat bertanya dulu, “Apakah profesor masih ingat saya?” Tanggal 18 Desember saya kirimkan email pada beliau. Tak berselang lama, beliau membalas email saya. Inilah email balasan dari Prof. Jungha Yoo untuk saya:

Angan saya terbang menerawang. “Korea Selatan, I’m coming,” bisik hati saya.

Coba tebak apa yang ada di pikiran saya saat itu? Senang bukan kepalang, tak lupa ucapan syukur terus dipanjatkan. Rezeki itu rahasia Allah SWT, Tuhan yang menggenggam alam raya ini. Saya yakin akan hal itu. Seyakin akan kenyataan bahwa Prof. Jungha Yoo benar-benar telah pindah dinas ke universitas lain, tapi tetap masih di Korea Selatan.

Beliau pernah sampaikan hal itu ketika dulu bertukar kartu nama. “Saya sedang proses persiapan pindah kerja dari Ajou University ke universitas lain,” ujarnya.

Ya, saya masih ingat beliau pernah utarakan hal itu. Saya baru sadar hal itu ketika email lanjutan dari saya tak terbalas lagi. Saya tak bisa lacak lagi alamat email terbaru Prof. Jungha Yoo. Ya sudahlah.

Hari ini saya masih tetap menjejakkan kaki di bumi pertiwi, Indonesia tercinta. Saya tak kecewa dengan kenyataan ini. Justru saya merasa bersyukur pernah mengalami episode hidup seperti ini.

Saya belajar tentang makna "profesor". Profesor itu adalah kebijaksanaan. Bijak dalam berpikir dan menyikapi persoalan hidup. Profesor itu adalah menara yang menjulang tinggi. Orang yang punya filosofi, “Everybody is same”. Siapa pun orang yang dihadapinya pasti akan mendapat respek, karena dia mampu tundukkan ego dan rasa tinggi hatinya. Dia tahu untuk apa gelar profesor itu digunakan. Bukan untuk bersombong-sombong diri, tapi untuk memberi kontribusi kepada sesama.

Maaf, gelar profesor hanya berlaku di lingkungan akademik. Di tingkat RT, RW, maupun kelurahan, kita tak bisa sembarangan gembar-gemborkan gelar profesor kita.

St. Augustine pernah berujar, “Anda ingin naik? Mulailah dengan turun. Anda ingin membangun menara tinggi menjulang? Mulailah dengan menanam fondasinya, yaitu kerendahan hati.”

Prof. Jungha Yoo, terima kasih atas pelajaran hidup ini. Anda telah mengajarkan satu hal penting kepada saya, tetaplah rendah hati meski sudah jadi profesor. Semoga kita bisa jumpa lagi di lain waktu dan kesempatan.

Asep Sapa'at

Teacher Trainer di Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement