Selasa 08 Aug 2017 21:04 WIB

Pernyataan Muhaimin Soal Full Day School Dinilai Menyesatkan

Ketua MUI Maruf Amin (kanan) dan Mendikbud Muhadjir Effendy (kiri) memberikan keterangan pers terkait Program Sekolah Limah Hari, di Istana Negara, Senin (19/6).
Foto: Republika/Debbie Sutrisno
Ketua MUI Maruf Amin (kanan) dan Mendikbud Muhadjir Effendy (kiri) memberikan keterangan pers terkait Program Sekolah Limah Hari, di Istana Negara, Senin (19/6).

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Aksi yang digalang pelajar Nadhatul Ulama (NU) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Purwokerto, Jawa Tengah, pada Selasa (7/8), menuai kritik. Aksi penolakan terhadap implementasi penguatan pendidikan karakter (PPK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dianggap sengaja menyesatkan opini publik.

Pengamat kebijakan dari Segitiga Institute, Muhammad Sukron, mengatakan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB, Muhaimin Iskandar, sengaja menutup mata terhadap kebijakan tersebut. “Buktinya, ada beberapa fakta yang sengaja dibelokkan,” kata Sukron dalam keteranga tertulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (8/8).

Pertama, menurut Sukron, Kemdikbud tidak pernah menggunakan istilah full day school (FDS). Sepengetahuan Sukron, kebijakan Mendikbud tentang penguatan karakter. "Bahkan Pak menteri berkali-kali menegaskan sekolah yang sudah menerapkan FDS justru cenderung tidak ada masalah dengan pendidikan karakter. Yang difokuskan oleh Kemdikbud adalah sekolah reguler yang belum menerapkan pengaturan waktu untuk PPK,” ujarnya.

Kedua, Muhaimin menuduh FDS dipaksakan. “Padahal tidak ada klausul dalam Permendikbud yang memaksakan, bahkan pelaksanaan PPK ini bertahap dan disesuaikan dengan kesiapan sekolah,” kata Sukron.

Yang lebih menyesatkan lagi, kata dia, pengaturan hari sekolah dianggap akan mematikan madrasah diniyah (madin). Padahal, dengan pengaturan jam sekolah tersebut disertai dengan upaya penguatan sinergi di antara tiga pusat pendidikan, yakni sekolah, masyarakat dan keluarga. “Jadi madin yang sudah ada di masyarakat justru bisa bersinergi. Siswa tetap bisa mengikuti Madin usai jam sekolah dan guru dapat memberikan pembimbingan dan penilaian bekerja sama dengan ustaz di madin," ujarnya.

Sukron mengatakan jika penyesatan ini dilakukan terus-menerus maka dikhawatirkan masyarakat yang sudah cerdas justru akan kecewa dengan manuvernya. “Lihat saja, di satu sisi dia (Muhaimin) bilang jangan buru-buru bermanuver soal pilpres, dia sendiri bilang akan menarik pencalonan Jokowi dalam pilpres jika menudukung kebijakan Mendikbud ini,” kata Sukron.

Seperti diberitakan sebelumnya, Muhaimin menyatakan kebijakan delapan jam belajar dalam lima hari sekolah yang dikeluarkan Kemdikbud tidak realistis. Dia bahkan menuding kebijakan yang dia sebut sebagai full day school tidak lebih baik dibanding kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda di masa lalu.

Sementara itu, Kemdikbud dalam siaran persnya beberapa waktu lalu, menyatakan implementasi PPK menitik beratkan lima nilai utama, yaitu religius, nasionalis, gotong royong, mandiri, dan integritas melalui pengaturan hari sekolah dalam Permendikbud nomor 23 tahun 2017. Kebijakan ini akan diperkuat dalam Peraturan Presiden yang saat ini sedang dibahas.

Mendikbud, Muhadjir Effendy, mengatakan penguatan karakter tersebut tidak berarti siswa akan belajar selama delapan jam di kelas. Namun, siswa akan didorong melakukan aktivitas yang menumbuhkan budi pekerti serta keterampilan abad 21. Tak hanya di sekolah, lingkungan seperti surau, masjid, gereja, pura, lapangan sepak bola, museum, taman budaya, sanggar seni, dan tempat-tempat lainnya dapat menjadi sumber belajar.

“Proporsinya lebih banyak ke pembentukan karakter, sekitar 70 persen dan pengetahuan 30 persen,” kata Mendikbud. Untuk itu kegiatan guru ceramah di kelas harus dikurangi digantikan dengan aktivitas positif, termasuk mengikuti madrasah diniyah, bagi siswa Muslim. Guru wajib mengetahui dan memastikan di mana dan bagaimana siswanya mengikuti pelajaran agama sebagai bagian dari penguatan nilai relijiusitas. Guru wajib memantau siswanya agar terhindar dari pengajaran sesat atau yang mengarah kepada intoleransi.  

Kekhawatiran sebagian pihak bilamana delapan jam belajar di sekolah dapat menggerus adanya madrasah diniyah dinilai Mendikbud tidak beralasan. Sebab, justru dengan semakin banyak waktu siswa belajar, maka madrasah diniyah dapat diintegrasikan dengan pembentukan karakter. Madrasah diniyah justru diuntungkan karena akan tumbuh dijadikan sebagai salah satu sumber belajar yang dapat bersinergi dengan sekolah dalam menguatkan nilai karakter religius.

"Jangan dibayangkan siswa akan berada di kelas sepanjang hari. Nantinya guru akan mendorong siswa untuk belajar dengan berbagai metode seperti role playing, proyek, dan dari bermacam-macam sumber belajar, bisa dari seniman, petani, ustaz, pendeta. Banyak sumber yang bisa terlibat, tetapi guru harus tetap bertanggung jawab pada aktivitas siswanya,” ujar Muhadjir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement