Rabu 21 Jun 2017 18:14 WIB

Orang Tua Siswa Miskin Protes PPDB SMA/SMK di Jawa Barat

Rep: Zuli Istiqomah/ Red: Ratna Puspita
Pengumuman hasil ujian penerimaan siswa baru (PSB) di sebuah sekolah (ilustrasi).
Foto: Antara/Mohamad Hamzah
Pengumuman hasil ujian penerimaan siswa baru (PSB) di sebuah sekolah (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Puluhan orangtua siswa mendatangi Gedung DPRD Jawa Barat di Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Rabu (21/6). Mereka mengelar aksi unjuk rasa mengeluhkan penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2017/2018.

Mereka menganggap PPDB di Jawa Barat bermasalah bagi siswa rawan melanjutkan pendidikan (RMP) atau berasal dari kalangan keluarga kurang mampu. Perwakilan pengunjuk rasa yang menamakan diri sebagai Aliansi Rakyat Bersatu, Dedi Gusdiar, mengatakan para orangtua siswa RMP kesulitan anaknya diterima di SMA/SMK baik di negeri ataupun swasta.

Menurut Dedi, orang tua yang melaporkan anaknya sulit diterima SMA dan SMK negeri menganggap sekolah tidak transparan. Sekolah selalu berdalih kuota sudah penuh.

"Padahal dalam aturan wajib terima 20 persen dan diutamakan yang terdekat," kata Dedi.

Di SMA/SMK swasta, Dedi menyebutkan sekolah yang bersangkutan memungut biaya. Dia mencontohkan biaya formulir pendaftaran Rp 150 ribu dan dana sumbangan pendidikan (DSP) mencapai Rp 3 juta sampai Rp 5 juta.

Padahal, Dinas Pendidikan Jawa Barat sudah menjamin siswa RMP yang tidak diterima di sekolah negeri akan disalurkan ke sekolah swasta. Tidak hanya itu, siswa RMP juga akan dibebaskan dari segala macam biaya.

"Ada semacam tidak sesuai statement Kadisdik yang menjamin kebebasan biaya dengan kenyataan di lapangan itu belum berlaku," kata dia.

Karena itu, pengunjuk rasa transparansi penerimaan kuota siswa RMP di sekolah negeri dan kepastian pembebasan biaya bagi siswa miskin di sekolah-sekolah swasta.

Orangtua siswa RMP di Kota Bandung, Lala (47), menuturkan anaknya mendaftar lewat jalur non-akademik sebagai siswa dari keluarga kurang mampu ke SMA Negeri 12 Kota Bandung. Namun, anaknya tidak diterima meski sudah memenuhi syarat-syarat.

Apalagi, dia tinggal sangat dekat dengan sekolah. "Cuma 300 meter tapi nggak keterima. Ada yang lebih jauh, lebih dari sekilo, malah keterima," kata Lala kepada Republika.

Lala mengatakan telah meminta konfirmasi dari sekolah terkait keputusan ini. Namun, jawaban sekolah tidak memuaskan dan tidak sesuai aturan yang ditetapkan dalam sistem PPDB.

Ia menjelaskan sekolah beralasan anaknya tidak memiliki keterangan penunjang sebagai siswa miskin seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan BPJS. Padahal, menurut dia, syarat penunjang yang menyatakan berasal dari kelompok rawan sekolah hanya SKTM.

Dia pun mengaku sudah melampirkan SKTM dalam persyaratan. "Saya memang nggak punya yang seperti itu tapi waktu rapat di keluarahan dibilang tenang yang penting ada SKTM," kata perempuan yang suaminya bekerja sebagai pekerja kebersihan gorong-gorong.

Dia pun meminta Dinas Pendidikan Jawa Barat bisa menjamin transparansi kuota siswa RMP di sekolah negeri. Dia beharap anaknya masih bisa bersekolah di SMA Negeri 12 Kota Bandung karena lokasina yang dekat dengan rumah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement