Sabtu 17 Jun 2017 16:13 WIB

Belajar 8 Jam Sudah Diterapkan Banyak Sekolah Favorit

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Nur Aini
Anak sekolah dasar
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Anak sekolah dasar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerhati pendidikan dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jejen Musfah menyebut kebijakan lima hari sekolah (LHS) bukan hal baru bagi pendidikan Indonesia.

"Sesungguhnya LHS bukan barang baru dalam model pendidikan Indonesia, bahkan ada pesantren yang 24 jam," kata dia dalam diskusi Ribut-ribut Fullday School di Jakarta, Sabtu (17/6).

Ia beranggapan keluarnya kebijakan oleh pemerintah, merupakan jawaban atas persoalan yang ada di masyarakat. Ia menilai, ada persoalan pada karakter, moralitas dan narkoba anak-anak didik. Pemerintah, menurutnya, memandang perlu adanya penguatan lima nilai karakter, yakni, religius, nasionalis, integritas, mandiri, dan gotong royong.

Persoalannya, Jejen mengatakan, pemerintah memilih strategi LHS untuk menjawab permasalahan anak didik. Selama ini, ia menjabarkan, tidak sedikit sekolah yang menerapkan LHS atau delapan jam belajar dalam sehari, salah satunya sekolah Islam Terpadu (IT) dan boarding school.

"Kalau istilahnya siswa belajar penuh di sekolah/madrasah, bukan hal baru. Bahkan madrasah dan sekolah favorit sudah terapkan pulang sore hari," tutur dia.

Menurutnya yang menjadi kegelisahan masyarakat, yakni apakah kebijakan itu mewajibkan seluruh sekolah negeri dan swasta punya pola yang sama dengan sekolah yang selama ini sudah menerapkan. Ia mengatakan, Mendikbud Muhadjir Effendy menyadari kebijakan ini tak mungkin wajib diterapkan secara nasional. Sehingga, kebijakan ini fakultatif atau merupakan pilihan.

"(Kekhawatiran kemungkinan penyeragaman) iya. Dikhawatirkan ini merupakan kewajiban. Sehingga kepentingan atau eksistensi madrasah takmiliyah, salah satu model pendidikan Indonesia bisa terganggu," ujar Jejen.

Sehingga, menurutnya kebijakan ini harus diterapkan serupa dengan Kurikulum 2013 (K-13) yang penerapannya melihat kesiapan sekolah. Selain itu, ia beranggapan, pernyataan tentang penghapusan mata pelajaran agama Islam (PAI) tak mungkin dilakukan. Sebab, salah satu nilai karakter yang ingin disasar yakni religius siswa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement