Jumat 16 Jun 2017 13:30 WIB

Kelelawar Hitam Sebagai Antikanker

Bunga kelelawar hitam.
Foto: Dok IPB
Bunga kelelawar hitam.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Tanaman kelelawar hitam (Tacca Chantrieri Andre) merupakan salah satu komoditas  yang cukup populer di pasar hortikultura dunia sebagai tanaman hias. Mahkota bunga yang berwarna merah marun kehitaman memberikan pemandangan yang unik menyerupai sebuah kelelawar. Tanaman herba yang langka ini tumbuh tersebar di Asia, terutama yang memiliki hutan hujan tropis.

Sejak dahulu, masyarakat Cina dan Thailand telah memanfaatkan rizoma tanaman ini sebagai salah satu obat tradisional. Kandungan chantriolida, evelynin, dan taccalonolida biasa digunakan sebagai salah satu terapi penyembuhan kanker karena bersifat cytotoxic (bersifat racun terhadap suatu sel) terhadap sel kanker.

Tertarik akan potensi tanaman kelelawar hitam menggerakan sekelompok mahasiswa Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Faperta IPB) untuk ikut berpartisipasi dalam Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKM-P) 2017.  Mereka  terdiri dari  Rahayu Ning Janati, Rezky Yuanikha Nur Sushanty, Nikko Rizky Ajisyahputra, Rizkiya Hani. Penelitian yang diusung yakni konservasi in vitro kelelawar hitam sebagai penghasil zat anti kanker.

Siaran pers IPB yang diterima Republika.co.id, Jumat (16/6) menyebutkan, tanaman kelelawar hitam merupakan salah satu tanaman herba yang langka. Tanaman tahunan ini tumbuh merumpun, berhabitat di hutan, lembah dan sepanjang sungai yang memiliki ketinggian 200-1300 mdpl dan tersebar luas di Assam hingga Indo-China dan Semenanjung Malaysia.

“Pada umumnya tanaman ini dibudidayakan dengan menggunakan benih dan stek batang, akan tetapi hingga saat ini sangat sulit untuk memperoleh benih. Selain dikarenakan langkanya benih  juga daya tumbuhnya yang rendah membuat tanaman ini sangat sulit untuk dibudidayakan,” kata Ketua  Tim PKMP Rahayu Ning Janati.

Rahayu menambahkan, penelitian yang dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikulutura IPB ini membudidayakan tanaman kelelawar hitam yang dipasok dari Kalimantan dengan metode kultur jaringan. Kultur jaringan  merupakan metode mengisolasi bagian dari suatu tanaman yang ditumbuhkan dengan kondisi aseptik sehingga tumbuhan dapat tumbuh menjadi lengkap kembali.

 

Pada penelitian ini digunakan benih tua dan muda untuk percobaan satu  dan menggunakan potongan daun kelelawar hitam untuk percobaan dua dengan bantuan zat pengatur tumbuh auksin dan sitokinin. Hingga pada akhirnya dilakukan analisis senyawa anti kanker.

“Kelompok kami melakukan budidaya kultur in vitro, karena dapat menghasilkan perbanyakan tanaman dari tanaman secara terbatas dan dengan waktu yang cepat,” ujar  Rahayu.

Ia menjelaskan, tanaman kelelawar hitam memiliki banyak sekali manfaat, di samping memiliki senyawa antikanker. Rimpang yang terdapat pada tanaman ini dapat digunakan sebagai pestisida nabati. Selain itu juga,  menurut penelitian dari Yokosuka dan Mimaki, ekstrak rimpangnya memiliki metabolit sekunder yang salah satunya berupa saponin spirostanol yang diketahui dapat menjadi racun bagi sel leukimia manusia.

Kelompok yang memiliki bidang keilmuan sama ini berharap bahwa penelitian yang mereka lakukan selain dapat menghasilkan bibit kelelawar hitam, mereka pula berharap bahwa tanaman hias ini dapat menjadi salah satu alternatif bahan baku obat antikanker.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement