Selasa 09 May 2017 19:30 WIB

Kurikulum SMK Belum Sesuai Kebutuhan Dunia Industri

Rep: Umi Nur Fadhilah/ Red: Andi Nur Aminah
Siswa SMK Jasaboga sedang berkreasi dengan menu Red Fruit Dragon Pie di ajang Lomba Kreasi Aneka Resep yang digelar Bogasari
Foto: Bogasari
Siswa SMK Jasaboga sedang berkreasi dengan menu Red Fruit Dragon Pie di ajang Lomba Kreasi Aneka Resep yang digelar Bogasari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) menyebut kurikulum SMK belum sesuai dengan dunia industri. Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kemnaker Bambang Satrio Lalono menjelaskan tidak sedikit SMK yang memiliki asal sebagai SMA dan SMEA. Sebab, sejumlah sekolah menengah itu memiliki kualifikasi berubah menjadi SMK.

Namun, ia mengatakan, perubahan itu tidak disesuaikan dengaan kualifikasi guru pengajar SMK. "Kurikulumnya juga masih lemah, sarpras (sarana prasarana) juga kurang mendukung," kata dia saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (9/5).

Menurutnya, hal itu salah satu penyebab banyaknya lulusan SMK yang menganggur. Ia menjabarkan, berdasarkan data Badan Statistik Nasional (BPS) per Agustus 2016, sebanya 11,11 persen lulusan SMK menjadi pengangguran terbuka. Posisi kedua ditempati lulusan SMA sebanyak 8,73 persen.

Padahal, Bambang mengatakan, Kemnaker memiliki grand design peluang kebutuhan tenaga kerja. Masing-masing peluang tenaga kerja, lebih banyak dibandingkan lulusan SMK pada 2016.

"Kalau pemerintah tak ada grand design kebutuhan tenaga kerja lulusan SMK di industri, saya mau tanya mereka mendirikan SMK itu untuk apa," tutur Bambang.

Menurutnya, pendidikan itu didirikan untuk memenuhi kebutuhan industri. Selama ini, menurutnya, kurikulum SMK masih banyak mempelajari hal umum dibandingkan pendidikan vokasi. Ia menjabarkan, sebanyak 25 persen kurikulum SMK hanya mempelajari pendidikan vokasi, sisanya, 75 persen mempelajari hal umum.

Menurutnya, kondisi itu berbanding terbalik dengan negara Jerman yang memprioritaskan 70 persen kurikulumnya untuk pendidikan vokasi, sementara 30 persen hanya teori.

Ia menyebut, salah satu fakta kurikulum SMk belum mampu menyiapkan lulusannya di dunia kerja, yakni adanya Balai Latihan Kerja (BLK). "Karena pendidikan SMK belum mampu sepenuhnya menciptakan tenaga kerja yang siap pakai. Makanya pemerintah mendirikan BLK," jelasnya.

Ia menyebut, kurikulum BLK lebih fleksibel menyesuaikan kebutuhan industri. Sementara, kurikulum SMK tidak bisa cepat merespon kebutuhan industri, karena memiliki regulasi yang panjang. "Kalau pendidikan formal itu untuk menyelesaikan masalah jangka panjang. Kalau pelatihan sesuai kebutuhan, BLK bisa merespon," jelasnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement