Selasa 26 Jul 2016 08:24 WIB

Mahasiswa UGM Hidupkan Lampu dari Energi Logam Bekas

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Nur Aini
Listrik/Ilustrasi
Listrik/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Lima mahasiswa UGM berhasil mengembangkan lampu ramah lingkungan dengan sumber energi dari bahan logam bekas. Mereka adalah Faqih Nurfajrin, Ika Novita S., M. Shokhibul Izza (Teknik Kimia 2012), Yulisyah Putri Daulay (Teknik Industri 2013), dan Muhammad Nabil Satria Faradis (Teknik Mesin 2012).

Pengembangan lampu yang dinamai dengan Established Self-Sustainable Alternative Source of Energy for Society From Salt Water and Using Reused Materials (EDULA) ini berhasil menghantarkan kelimanya meraih penghargaan Merit Award pada International Energy Innovation Challenge 2016 (EIC) yang diadakan oleh The Institution of Engineers Singapore (IES) and Science Centre Singapore (SCS) pada 23 - 24 Juli 2016 di Singapura.  Pengembangan produk ramah lingkungan ini berawal dari keprihatian mereka akan tingginya kebutuhan energi listrik dunia. Sementara itu, sumber energi listrik dari minyak bumi keberadaannya semakin menipis. Karenanya mereka berupaya melakukan penelitian secara intensif untuk mencari sumber-sumber energi alternatif.

“Setidaknya 20 persen konsumsi listrik global dihabiskan untuk penerangan. Padahal energi yang dikonsumsi untuk menghasilkan cahaya tersebut menghasilkan gas rumah kaca sebesar 1.900 Mt CO2 per tahun," tutur Izza, Selasa (26/7). Sehingga sumber energi alternatif yang hemat dan juga ramah lingkungan sangat dibutuhkan.

Izza juga menyebutkan, pengembangan sumber energi alternatif ini penting dikembangkan di Indonesia. Hal ini karena, hingga kini belum semua daerah Indonesia teraliri listrik. Data Kementerian ESDM 2016 mencatat setidaknya lebih dari 12.659 desa di Indonesia tidak memiliki akses terhadap listrik.

Guna memenuhi kebutuhan pencahayaan, sebagian besar masyarakat di daerah terpencil menggunakan lampu minyak tanah. “Padahal ampu minyak tanah menghasilkan karbondioksida, sehingga menyebabkan kualitas udara dalam ruangan yang buruk dan berbahaya,” ujarnya.

Oleh sebab itu Izza dan rekan-rekannya di bawah bimbingan Dr. Himawan Tri Bayu Murti Petrus dari Center of Advanced Materials and Mineral Processing UGM mencoba mengembangkan lampu yang bersifat ramah lingkungan. Dengan memanfaatkan logam bekas sebagai sumber energi, lampu yang dikembangkan diharapkan bisa menjadi solusi untuk masalah penerangan di berbagai wilayah Indonesia yang belum tersentuh listrik.  “Lampu ini dibuat dengan memanfaatkan sumber energi dari logam bekas dengan pereaksi air laut yang banyak terdapat di sekitar kita ,” tutur Izza.

Nabil menambahkan, EDULA dibuat dalam bentuk portable dengan menggunakan prinsip dasar reaksi redoks pada sel sirkuit Volta sebagai sumber energi listrik. Reaksi ini tercipta karena sifat fisik dari logam, di mana beberapa logam rentan terhadap oksidasi dan logam lainnya. “Lampu akan bekerja ketika kedua logam ini dimasukkan ke dalam larutan air asin (air laut), maka aliran elektron akan berpindah,” ujarnya.

Dalam sistem ini,  kata Nabil, aliran elektron terjadi karena ada perbedaan potensial antara anoda dan katoda. Perbedaan potensial akan menghasilkan listrik dan menyalakan lampu.

“Di sini kami menggunakan logam bekas dari Alumunium (Al) dan Tembaga (Cu) karena kedua logam ini memiliki beda potensial paling besar di antara logam lainnya dan murah,” ujarnya.

Nabil menyebutkan lampu yang mereka kembangkan bisa menghasilkan beda potensial sebesar 4 Volt yang terdiri dari 8 cell logam bekas. Adapun daya yang dihasilkan dari lampu ini sebesar 5 Watt. Berdasar perhitungan kasar, lampu ini dapat bertahan hingga 178.347 jam. “Voltasenya bisa ditingkatkan hingga tidak terbatas dengan menambah rangkaiannya saja,” tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement