Rabu 29 Jun 2016 07:15 WIB

Keteguhan Karakter dan Senyum Aisha Saat Didiskualifikasi

Aisha, siswi kelas 8 MTs Negeri Model, Babat, Kabupaten Lamongan.
Foto: Ist
Aisha, siswi kelas 8 MTs Negeri Model, Babat, Kabupaten Lamongan.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Erik Purnama Putra

Aisha namanya. Dia bukan siswi sembarangan. Mbak Ais, panggilan akrab ayahnya kepada putrinya tersebut, saat ini masih berstatus kelas 8 MTs Negeri Model, Babat, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Karena capaiannya, Aisha ditunjuk mewakili Lamongan, untuk berkompetisi di Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) di Kota Malang, medio Mei lalu. Aisha tercatat sebagai peserta cabang olahraga (cabor) renang.

Kontingen Lamongan berangkat pada 23 Mei 2016. Ayah Aisha, Wido Mugi Kuntarto menyusul sehari berikutnya. Kehadiran Wido Mugi jelas ingin melihat anak kesayangannya bertanding sekaligus ingin mendukungnya secara langsung. Karena itu, ia hadir di arena pertandingan pada 25 Mei 2016.

Sayangnya, pemandangan tragis yang didapatnya. Dia diberitahu pendamping atlet, kalau panitia cabor renang mendiskualifikasi Aisha. Apa pasal? Alasan yang didengarnya adalah, putrinya tersebut memakai baju renang muslimah. Hal itu dianggap panitia tidak sesuai dengan persyaratan yang wajib ditaati peserta, yaitu kaki dan tangan harus kelihatan. Saat itu, Aisha belum mengetahui kalau sudah didiskualifikasi, karena sedang bersiap-siap memulai balapan renang.

Wido Mugi mengaku, ketidaktahuannya terkait aturan lomba renang, membuatnya 'berontak' dengan keputusan panitia. Dia pun seketika meminta pendamping atlet itu untuk membatalkan saja keikutsertaan Aisha. Namun, ia urung melakukannya. Hal itu setelah ia melihat semangat putrinya yang ingin memberikan penampilan terbaik dalam kejuaraan perdana yang diikuti Aisha.

Setelah berdiskusi dengan pendamping atlet, Wido Mugi sepakat untuk membiarkan putrinya tetap tampil, meski sudah didiskualifikasi. Dia berhitung, lomba yang diikuti Aisha dapat dijadikan sebagai pengalaman berharga dan uji limit kecepatan putrinya yang tampil dalam perlombaan nomor gaya dada 50 meter.

Belakangan, ia tahu perlombaan renang O2SN mengikuti peraturan Federasi Renang Internasional (FINA). Sesuai aturan FINA, setiap peserta diwajibkan menggunakan baju renang yang sudah ditentukan, di mana bagian kaki dari lutut ke bawah dan leher harus terlihat alias tidak boleh tertutup pakaian.

Setelah putrinya menyelesaikan balap renang, Wido Mugi menghampiri Aisha. Ternyata, Aisha yang baru saja diberitahu juri langsung mengadukan keputusan diskualifikasi kepadanya. Sebagai ayah, Wido Mugi pun takjub dengan sikap putrinya yang tegar. Meski terkena diskualifikasi, Aisha tetap tampil luar biasa dan meneruskan lomba seolah tanpa beban.

Wido Mugi pun paham, putrinya tak akan bisa menjadi juara. Meski begitu, ia tetap percaya, sesungguhnya Aisha sudah menunjukkan kemampuan terbaiknya di matanya. Menurut dia, putrinya tersebut sudah memiliki karakter yang terbentuk. Putrinya tetap kukuh mempertahankan baju renang muslimah, meski konsekuensinya kehadirannya tidak dianggap panitia.

Karena penasaran, sang ayah pun bertanya kepada putrinya tentang keputusan diskualifikasi itu. Ternyata, Aisha sudah mendapat petunjuk akan dicoret panitia ketika waktu registrasi, ia tidak diperbolehkan menggunakan baju renang di luar standar. Aisha malah dengan enteng menjawab, "Gak pa pa didiskualifikasi karene ini keyakinan saya," ucapnya dengan mantab.

Wido Mugi pun kagum dengan cueknya sikap putrinya tersebut yang tetep melanjutkan perlombaan. Tidak ingin Aisha teringat dengan lomba yang mengecewakan itu, ia seketika menyemengati putrinya dengan menyebut sudah memberikan yang terbaik.

Dia tahu dan memahami, ada sedikit kekecewaan yang terpancar dari diri Aisha. Namun, yang membuatnya lega, putrinya masih tetap bisa melangkah sambil diiringi senyum manisnya. Wido Mugi merasa perlu bersyukur, cara mendidik yang diterapkannya selama ini dengan mendukung setiap langkah yang dipilih Aishah menghasilkan sebuah karakter anak yang mengesankan.

Wido Mugi pun mampu mengambil hikmah atas kejadian itu. Dia tidak merasa kecewa, melainkan dapat memetik pelajaran berharga tentang kehebatan putrinya. Sang ayah akhirnya menyadari, ia kini dikaruniai sebuah putri yang taat kepada orang tua dan bisa membuat keputusan sendiri di tengah keadaan sulit.

Pengamat pendidikan anak Shiddiq Baihaqi merasa takjub dengan kejadian yang menimpa Aisha. Menurut dia, pengalaman yang dirasakan siswa kelas 8 MTs Negeri Model itu tentu bukan sebuah hal biasa yang dirasakan remaja. Dia menilai, pendidikan yang diterima Aisha di dalam keluarga pastinya yang membuatnya bisa menghadapi kenyataan tidak mengenakkan itu tanpa rasa putus asa.

Hal itu terbukti dengan keputusannya yang tetap ikut lomba renang dengan mempertahankan keyakinannya, walaupun dengan konsekuensi dicoret oleh panitia. Shiddiq menyatakan, pembentukan karakter seperti itu dalam keluarga tidak tercipta secara instan, melainkan terbentuk secara terus-menerus dalam lingkup keluarga yang penuh pengertian dan terciptanya hubungan hangat antara orang tua dan anak.

Shiddiq pun berujar, sikap Aisha itu malah luar biasa. Meski tahu kena diskualifikasi, tetap meneruskan lomba. Tentu dia tak bisa jadi juara. Tapi, ia percaya, Aisha sesungguhnya yang sejatinya menjadi juara karena memiliki mental pemenang.

Penulis jadi teringat dengan pendapat Helen Keller, seorang aktivis buta dan tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College, Amerika Serikat pada 1904. Keller menulis, Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved.”

Menurut dia, karakter anak terbentuk secara disiplin dengan mengikuti nilai dan norma yang baik, berkat perilaku orang tua yang dicontoh anaknya itu sendiri. Anak akan berbuat baik atau peduli terhadap sesama itu bukan merupakan bawaan, melainkan hasil didikan orang tua yang dilakukan secara berkelanjutan.

Pengalaman dan ujian yang sudah dirasakan Aisha hingga membentuk karakternya seperti itu, tentu berkat didikan keluarga di rumah. Tidak ada yang menyangkal, keputusan Aisha itu bisa menjadi inspirasi bagi remaja lain untuk menjadi pribadi bermental pemenang dan tidak mudah terpuruk ketika dalam kondisi tidak menguntungkan atau meraih kegagalan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement