Senin 29 Feb 2016 19:25 WIB

Orang Tua Khawatir Anak Jadi Korban Kekerasan di Sekolah

Rep: Wilda Fizriyani/ Red: Dwi Murdaningsih
  Anak-anak mengikuti acara kampanye Gerakan Nasional Anti-kekerasan terhadap Anak dan Perempuan di Senayan, Jakarta, Ahad (14/2). (Republika/Yasin Habibi)
Anak-anak mengikuti acara kampanye Gerakan Nasional Anti-kekerasan terhadap Anak dan Perempuan di Senayan, Jakarta, Ahad (14/2). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan sebanyak 52 persen ibu khawatir anak jadi korban kekerasan di sekolah. Untuk itu, program Sekolah Aman Anti Kekerasan perlu diperkuat di seluruh tingkatan dengan Peraturan Presiden (Perpres).

Berdasarkan hasil survei KPAI, terdapat berbagai macam bentuk hukuman sekolah yang masih dipertanyakan sesuai atau tidaknya. Bentuk hukuman yang paling banyak ditemukan seperti berdiri dengan satu kaki, dijemur di lapangan dan dilempar penghapus oleh guru. “Lari dan putar lapangan, dijitak, dijewer dan dicubit,” kata Wakil Ketua KPAI, Susanto saat diskusi panel tentang sekolah aman-anti kekerasan di Senayan, Jakarta, Senin (29/2).

Susanto mengatakan, hukuman-hukuman seperti itu sebenarnya masih dipertanyakan apakah itu benar-benar hukuman atau bukan. Terkadang, lanjut dia, banyak guru yang menilai hukuman seperti lari memutar lapangan itu baik untuk kesehatan atau sekaligus olahraga.

Pada hakikatnya, Susanto menerangkan, tujuan dari sanksi itu agar seseorang jera dalam melakukan suatu hal yang dilarang. Hal ini juga bukan berarti membuat anak takut dan tegang. Sanksi yang diberikan kepada anak perlu memberikan pengaruh positif, yakni membudidayakan rasa tanggung jawab bukan penakutan pada anak.

Sejauh ini, Susanto menjelaskan, KPAI telah melakukan sejumlah upaya seperti advokasi rumah ramah anak. KPAI juga berupaya mengintergrasikan perlindungan anak ke dalam delapan standar pendidikan. Hal ini berarti bagi sekolah yang memiliki kasus kekerasan yang banyak dan tidak bisa mencegahnya harus mendapat konsekuensi.

Susanto mengatakan, sekolah-sekolah ini bisa diturunkan level akreditasnya, penyetopan dana bantuan sekolah dan sebagainya. Tindakan ini dinilai sangat perlu agar bisa memantik sekolah untuk dapat memperbaikinya.

Menurut Susanto, KPAI juga telah memberikan rekomendasi kepada Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) agar bisa memasukkan mata kuliah perlindungan anak. Sekolah juga perlu membuat mekanisme yang ketat dalam merekrut guru. Dengan kata lain, sekolah lebih baik tidak terima guru yang memiliki riwayat melakukan kekerasan. “Itu ada kerentanan  menjadi pelaku kekerasan,” ujar Susanto.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement