REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PKS Sohibul Iman mengatakan, pemerintah dalam menyelesaikan masalah ijazah palsu harus melakukan pendekatan secara struktural dan kultural.
Secara struktural dengan menegakkan aturan yang ada. Pertama, dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, terkait Sisdiknas, dan kedua Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 terkait perguruan tinggi. "Ini tolong ditegakkan oleh pemerintah dengan seketat-ketatnya dan setegas-tegasnya tanpa pandang bulu," ujarnya, Jumat, (29/5).
Kedua, kata dia, pendekatan secara kultural. Menurutnya, masayarakat memiliki suatu budaya yang mempengaruhi munculnya kasus ijazah palsu. Pertama, kultur yang menganggap gelar ijazah sebagai sesuatu yang berstatus sosial, padahal itu adalah sebuah label administratif atas sebuah pencapaian.
Kedua, budaya menerabas atau instan, sehingga muncul upaya-upaya membeli ijazah. "Dua kultur ini harus diubah, sehingga mudah-mudahan pendekatan strukturalnya tegas, kulturalnya juga jalan dalam mengubah persepsi publik."
Menurut Sohibul, terdapat tiga jenis yang dikategorikan ijazah palsu. Pertama adalah ijazah yang benar-benar palsu dengan memalsukan stempel, tandatangan dan sebagainya. Kedua, ijazah yang dikeluarkan oleh lembaga yang belum terakreditasi. Ketiga, dikeluarkan oleh lembaga terakreditasi namun tidak ada perkuliahan.
"Pemerintah ketika memberi izin akreditasi kepada sebuah lembaga harus dilihat serius, jangan perkuliahannya tidak benar tapi diberi akreditasi. Dan bagi mereka yang sudah benar-benar menjalankan perkuliahan dengan baik, rasio dosen juga bagus, yang seperti ini dipermudah untuk mendapatkan akreditasi, dengan cara itu saya kira penyimpangan-penyimpangan itu akan terkurangi."