Rabu 20 May 2015 04:20 WIB

'Lulusan Vokasi Lebih Siap Hadapi MEA Daripada Sarjana'

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
 Para pencari kerja mengantre untuk mendaftar kerja dalam pameran bursa kerja di Balai Kartini, Jakarta, Jumat (23/8).  (Republika/Yasin Habibi)
Para pencari kerja mengantre untuk mendaftar kerja dalam pameran bursa kerja di Balai Kartini, Jakarta, Jumat (23/8). (Republika/Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Forum Perguruan Tinggi Vokasi Seluruh Indonesia mengklaim sebenarnya lulusan vokasi atau diploma lebih siap menghadapi era masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) dibandingkan lulusan strata satu atau sarjana. Namun, lulusan vokasi masih dipandang sebelah mata oleh masyarakat.

Ketua Forum Perguruan Tinggi Vokasi Seluruh Indonesia Hotma Prawoto Sulistyadi mengatakan, umumnya lulusan prodi vokasi dari 50 universitas di wilayah Tanah Air, terutama universitas ternama hampir semuanya terserap dalam lapangan kerja. Ia menyontohkan, hampir 90 persen lulusan vokasi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang merupakan tempatnya mengajar diterima bekerja di industri maupun perusahaan. Sisanya masih menunggu panggilan kerja.

Namun ia menegaskan, semuanya pasti terserap hanya waktu tunggu penerimaan kerja antarlulusan yang berbeda-beda. Ada yang waktu tunggunya hanya 1,5 bulan sampai tiga bulan.

Jadi, sebenarnya pada prinsipnya semua terserap di perusahaan. Apalagi, ia mengklaim lulusan vokasi memiliki kelebihan dibandingkan lulusan sarjana yaitu keahlian.

“Bahkan, lulusan vokasi lebih siap menghadapi ancaman serbuan tenaga kerja asing dibandingkan sarjana ketika MEA dimulai,” katanya kepada Republika, usai mengisi acara Seminar Nasional Sertifikasi Profesi dan Kompetensi bertema "Pendidikan Vokasi di Era Persaingan Tenaga Kerja" di Kampus UI, Depok, Jawa Barat, Selasa (19/5).

Ia menyebutkan, lulusan vokasi bahkan dipekerjakan di perusahaan asing seperti otomatif di Arab Saudi atau industri di Myanmar. Ada juga perusahaan kontraktor pertambangan minyak seperti Schlumberger, hingga perusahaan alam batu bara.

Namun, pihaknya tetap bersinergi dengan universitas vokasi dalam negeri untuk melawan gempuran lulusan universitas asing saat MEA. “Misalnya dialog dengan industri perusahaan. Semua universitas, baik negeri maupun swasta harus difasilitasi dan dianggap sama tanpa membedakan status kampus, asalkan memiliki komitmen membangun bangsa,” ujarnya.

Satu-satunya kendala yang pihaknya rasakan yaitu stigma keliru dari masyarakat yang menilai jenjang vokasi yang tanggung karena bukan bergelar sarjana atau lulusan sekolah menengah atas (SMA). Ia menegaskan, jenjang pendidikan sarjana dengan diploma tidak bisa disamakan karena tingkat pendidikannya berbeda. “Namun, kalau ditanya kompetensi, vokasi menang dibandingkan sarjana,” ujarnya.

Untuk itu, ia menilai percuma saja kalau industri hanya mencari alumnus S1 yang pada akhirnya bekerja rendahan seperti menjadi satpam. “Lebih baik kuliah vokasi tapi (bekerja) di jalur yg benar,” katanya.

Sekarang, kata dia, tinggal melihat apakah penyerapan itu berbanding lurus dengan keahlian si alumnus vokasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement