Sabtu 02 May 2015 10:26 WIB

Hardiknas, Kualitas Guru Dinilai Masih Jadi PR

Murid kelas IX SMPN 65 melakukan kegiatan belajar mengajar di ruangan sementara di Sekolah Dasar Negeri 12 Pagi, Sunter Jakarta Utara, Kamis (16/4).(Republika/Raisan Al Farisi).
Foto: Republika/Raisan Al Farisi
Murid kelas IX SMPN 65 melakukan kegiatan belajar mengajar di ruangan sementara di Sekolah Dasar Negeri 12 Pagi, Sunter Jakarta Utara, Kamis (16/4).(Republika/Raisan Al Farisi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemulihan persoalan pendidikan, khususnya Kurikulum 2013 dan Ujian Nasional oleh kementerian terkait dinilai masih bersifat simptomatik, belum secara fundamental mengatasi akar masalahannya, bahkan menimbulkan masalah baru. Ketua Umum PGRI Sulistyo mengatakan hingga saat ini belum terlihat arus utama program pendidikan yang hendak dilakukan oleh Kementerian Pendidikan Nasional dalam lima tahun mendatang.

"Beberapa pernyataan yang sering terdengar dari Menteri Anies Baswedan adalah pendidikan sebagai gerakan dan guru sebagai yang pertama dan utama. Dan tidak ada yang salah dalam ide pendidikan sebagai sebuah gerakan, yaitu secara moral setiap orang harus berpartisipasi terhadap keberlangsungan dan kemajuan pendidikan nasional".

Dia mengkritisi bahwa perlu disadarkan pula pada publik, terlebih para pejabat Kemdikbud bahwa secara konstitusional penyelenggaraan pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, dalam hal ini utamanya adalah Kemdikbud. Menurutnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu fokus pada apa yang menjadi tupoksinya agar dapat terselenggara sebaik-baiknya sehingga menghasilkan pendidikan berkualitas dalam arti sebenar-benar dan seluas-luasnya.

Kualitas pendidikan, ujar Sulistiyo tidak dapat diingkari, terutama ditentukan oleh kualitas guru. Namun PGRI belum mendapatkan gambaran nyata tentang program apa yang hendak dilakukan oleh Kemdikbud sebagai upaya perbaikan kualitas guru. Bahkan, PGRI memperoleh laporan saat ini guru semakin banyak menghadapi persoalan.

Persoalan guru yang seharusnya segera diselesaikan adalah kekurangan guru, terutama kekurangan guru SD yang sangat besar, guru honorer yang penyelesainnya tidak jelas, bahkan hak-haknya yang secara eksplisit diatur dalam PP Nomor 74 Tahun 2008 juga dibaikan, pencairan tunjangan profesi yang selalu terlambat, bahkan persyaratannya semakin sulit dan tidak wajar.

Selanjutnya, ketentuan pemberhentian sementara/pemberhentian jabatan fungsional pengawas sekolah berdasarkan Permenegpan dan RB Nomor 21 tahun 2010 semakin terancam, dan sistem kenaikan pangkat serta jabatan guru yang tidak dapat dilaksanakan. Terkait sertifikasi guru akan berlanjut melalui model Pendidikan Profesi Guru dalam jabatan (PPGJ). Kebijakan ini dalam pandangan PGRI diskriminatif, karena guru yang belum tersertifikasi hingga 2015 adalah akibat ketidakmampuan pemerintah dalam memprosesnya. Sementara UU No. 14/2005 menetapkan batas akhir 2015.

"Lalu kelalaian/keterbatasan pemerintah untuk melaksanakan UU tersebut, mengapa guru harus dijadikan penderita ketidakadilan. Di samping itu, dalam PP Nomor 74 Tahun 2008, sertifikasi guru dalam jabatan bentuknya adalah uji kompetensi, berupa fortofolio dan PLPG. Guru tetap non-PNS dan GTY yang sebenarnya berhak disertifikasi menurut PP Nomor 74, sampai saat ini juga tidak jelas nasibnya. Masih lebih 1,5 juta guru belum disertifikasi, yang seharusnya telah selesai tahun 2015", katanya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement