Selasa 18 Nov 2014 16:36 WIB

Sekolah di Indonesia Masih Mendiskriminasi Anak Difabel

Rep: Dyah Ratna Meta Novia/ Red: Indah Wulandari
Sejumlah anak-anak difabel
Foto: Republika/Yasin Habibi
Sejumlah anak-anak difabel

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—Minimnya guru bagi anak berkebutuhan serta ketersediaan sekolah inklusif yang mau menerima anak difabel mencerminkan timpangnya perlakuan hak pendidikan bagi anak Indonesia.

"Saya sering menyatakan sekolah di Indonesia masih  mendiskriminasi anak Indonesia dalam dua kategori, yakni normal dan cacat. Kebijakan ini melanggar prinsip keadilan dan kesetaraan,"kata pengamat pendidikan Doni Koesoema, Selasa (18/11).

Ia mengatakan, seharusnya  tidak  ada sekolah inklusif sebab pendidikan itu sudah inklusif. Sehingga anak  tuna wicara, misalnya,  tak harus langsung masuk ke sekolah luar biasa (SLB), karena anak-anak  ini bisa ikut sekolah umum dengan uji kemampuan khusus di awal masuknya (assessment berjenjang).

Anak difabel, ujar Doni, harus melalui  tahap erjenjang untuk menentukan apakah ia harus masuk sekolah khusus dengan kurikulum khusus, guru khusus, dan kelas  khusus. Namun, sayangnya di Indonesia belum punya konsep semacam itu.

Terkait dengan masih minimnya guru SLB maupun  guru sekolah inklusif, Doni mengatakan, pemerintah harus segera memetakan kebutuhan anak-anak difabel atau  berkebutuhan khusus.  Anak-anak  difabel untuk sementara bisa belajar di sekolah umum yang sudah siap.

Ke depan, lanjutnya,  ini menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan guru-guru bagi anak difabel dengan jumlah dan kualitas yang memadai. Diharapkan anak-anak difabel lebih bisa diperhatikan, terlebih bila Rancangan Undang-undang (RUU) Penyandang Disabilitas nanti disahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement