REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA—Minimnya guru bagi anak berkebutuhan serta ketersediaan sekolah inklusif yang mau menerima anak difabel mencerminkan timpangnya perlakuan hak pendidikan bagi anak Indonesia.
"Saya sering menyatakan sekolah di Indonesia masih mendiskriminasi anak Indonesia dalam dua kategori, yakni normal dan cacat. Kebijakan ini melanggar prinsip keadilan dan kesetaraan,"kata pengamat pendidikan Doni Koesoema, Selasa (18/11).
Ia mengatakan, seharusnya tidak ada sekolah inklusif sebab pendidikan itu sudah inklusif. Sehingga anak tuna wicara, misalnya, tak harus langsung masuk ke sekolah luar biasa (SLB), karena anak-anak ini bisa ikut sekolah umum dengan uji kemampuan khusus di awal masuknya (assessment berjenjang).
Anak difabel, ujar Doni, harus melalui tahap erjenjang untuk menentukan apakah ia harus masuk sekolah khusus dengan kurikulum khusus, guru khusus, dan kelas khusus. Namun, sayangnya di Indonesia belum punya konsep semacam itu.
Terkait dengan masih minimnya guru SLB maupun guru sekolah inklusif, Doni mengatakan, pemerintah harus segera memetakan kebutuhan anak-anak difabel atau berkebutuhan khusus. Anak-anak difabel untuk sementara bisa belajar di sekolah umum yang sudah siap.
Ke depan, lanjutnya, ini menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakan guru-guru bagi anak difabel dengan jumlah dan kualitas yang memadai. Diharapkan anak-anak difabel lebih bisa diperhatikan, terlebih bila Rancangan Undang-undang (RUU) Penyandang Disabilitas nanti disahkan.