Jumat 02 May 2014 18:48 WIB

Pendidikan Indonesia, Surga 'Penggemar' Anak

Pelecehan anak - ilustrasi
Pelecehan anak - ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Sekolah bukan lagi merupakan tempat yang aman untuk anak-anak menikmati masa kecilnya. Anak adalah karya-karya tuhan yang baru saja diterjunkan ke bumi sebagai “pejabat” yang menjalankan bumi ini. Tapi alangkah ironinya jika anggota baru ini di plonco sangat tidak manusiawi oleh para senior (orang dewasa) mereka.  Mereka memiliki pengetauan yang nol tentang dunia dan mereka juga memiliki hardisk kosong yang bisa diisi oleh jenis data (pengalaman) apapun.

Jika sang “senior” memberikan informasi (pengalaman) yang salah - memperlakukannya dengan cara tidak baik, melecehkan mereka secara seksual - sang junior pun akan mempunyai data yang salah, yang tersimpan di dalam hardisk mereka. Data tersebut akan berfungsi sebagai manual book bagi hidup mereka. Al-hasil begitu mereka dewasa akan menampilkan perilaku-perilaku yang salah juga dan memberikan dampak yang negatif kepada masyarakat luas.

Lebih dari satu minggu media masa di Indonesia mengangkat isu pelecehan seksual pada anak di bawah umur yang terjadi di Jakarta International School (JIS). Sehubungan dengan hal itu, pada tanggal 24 April 2014, ada sebuah diskusi bertemakan “Child abuse”  yang diadakan oleh Jakarta Foreign Correspondence Club (JFCC).

Pada pertemuan tersebut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)mengungkapkan bahwa di hari sebelumnya, 23 April 2014, ada sebuah laporan baru dari salah seorang orang tua murid JIS, yang mana anaknya juga menjadi korban pelecehan seksual di sekolah yang bertaraf internasional itu. Korban kedua ini mengalami trauma yang sangat dahsyat.

Dan yang lebih mengenaskan lagi sang anak tersebut juga pernah melihat teman sekolahnya di perkosa. Tentu saja pernyataan ini menggetarkan para peserta yang hadir di dalam acara diskusi tersebut. Timoty Carr, direktur JIS, hanya memberikan komentar bahwa ia baru pertama kali mendengar pernyataan tersebut.

KPAI menyatakan lebih jauh bahwa orang tua murid ini sudah pernah melaporkan kejadian ini kepada JIS. Pihak sekolah menyatakan akan memberikan bantuan psikologis, akan tetapi tidak pernah ada tindakan yang signifikan hingga orang tua murid tersebut membuat pengaduan kepada KPAI.

Indonesia  nampaknya menjadi surga bagi para  “penggemar“ anak. Tidak lama berselang setelah kasus pelecehan seks pada anak mencuat, FBI mengumumkan William James Vahey, salah seorang pedofil yang terbesar yang pernah ditangani FBI, memakan korban hingga 90 anak, pernah mengajar di JIS semenjak 1992-2002.

Para pedofil berusaha sebisa mungkin agar dapat dengan leluasa berinteraksi dengan anak-anak. Sebagai contoh, mereka mencoba untuk bekerja sebagai guru, pelatih  olahraga, guru les,guru music, dsb. Pekerjaan seperti ini digunakan untuk membungkus kelakuan biadab mereka- melampiaskan nafsunya kepada anak-anak yang tak berdosa.

Pertanyaan yang ada di benak masyarakat, mengapa orang dapat menjadi pedofil (melampiaskan kepuasan seks pada anak di bawah umur) ?. Hingga saat ini para peneliti dan psikolog masih melakukan penelitian untuk mengetahui faktor yang menyebabkan orang menjadi pedofilia. Banyak faktor yang mempengaruhinya dan belum ada satu faktor (only single factor) yang dapat menjelaskan fenomena ini semua.

Lalu penjelasan apa yang ada?. Kebanyakan para pelaku pelecehan seksual terhadap anak pernah mengalami pelecehan seksual pada masa kecilnya. Dalam istilah psikologi hal ini dikenal sebagai “abused-abuser cycle”.  Berawal dari korban (abused) pelecehan seksual pada masa kecil, tumbuh menjadi orang dewasa yang memakan korban (abuser).

Lingkaran ini seperti lingkaran setan dan memerlukan penanganan yang serius secara psikologi untuk dapat memutus lingkaran tersebut. Orang yang pada masa kecilnya pernah menjadi korban, mereka berpikir ketika menjadi dewasa bahwa melampiaskan seks dapat dilakukan pada anak kecil. Lebih jauhnya lagi mereka merasakan bahwa kepuasaan seks mereka dapat dipenuhi dengan melakukannya kepada anak-anak.

Walaupun tidak seluruhnya anak-anak yang pernah menjadi korban akan menjadi pelaku pelecehan seksual, banyak dari mereka yang akhirnya menjadi pemurung dan menyesali hidupnya seumur hidup. Bahkan ada sebagian dari mereka, begitu tumbuh dewasa menjadi pecinta sesama jenis. Korban pelecehan seksual pada masa kecil biasanya akan mempunyai harga diri yang rendah. Walaupun memungkinkan untuk diberikan terapi.

Ketidak mampuan untuk “bertarung“ dengan pergolakan batin yang ada di dalam diri korban yang terkadang dipendam hingga puluhan tahun memberikan dampak yang negatif. Ke “galauan“ tingkat dewa yang dialami oleh para korban dapat menuntun mereka kepada hal yang negatif, seperti narkoba, menjadi pelacur, bahkan mencoba untuk bunuh diri. Karena mereka merasa bahwa tidak adanya lagi harga diri dan tujuan hidup- sesuatu yang berharga sudah hilang dari dirinya.

Jika anak telah menjadi korban, maka segeralah untuk diberikan pertolongan psikologis. Memori tersebut akan membekas seumur hidup. Jangan pernah merasa malu untuk mengungkapkan kasus ini atau melapor jika anak anda ataupun anda menjadi korban pelecehan seksual pada masa kecil. Pengaduan anda akan membantu meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa pelecehan seksual adalah sebuah kekejaman.

Pendidikan di negeri ini harus dibenahi. Mendiknas terkesan seperti pahlawan kesiangan. Begitu media mengungkap kasus ini, baru lah mereka mengunkapkan bahwa harus ada pembenahan dalam sistem pendidikan  dan pengecekan kepada sekolah-sekolah internasional. Mengapa JIS yang tidak mempunyai izin beroperasi selama ini dibiarkan saja beroperasi ?.

Apakah karena uang pelicin yang masuk ke mendiknas ?. JIS juga seharusnya lebih kooperatif, jika sekolah anda bertaraf internasional, maka bersikap terbukalah dan jangan takut reputasi anda akan hancur. Menutupi kebenaran malah akan menurunkan standar sekolah anda menjadi tidak mempunyai standar.

Masyarakat seharusnya merubah pola pikir dan persepsi bahwa tidak selamanya pendidikan barat atau apapun yang berbau dan berbentuk bule, adalah sesuatu yang selalu menjadi yang terbaik (the best). Siapapun mereka, orang-orang asing di negeri ini adalah tetap manusia yang mempunyai sisi psikologi yang dapat tergunjang dan menjadi abnormal sekalupun.

Pendidikan bukan dinilai dari label sekolah ataupun penampilan para pengajar, akan tetapi pendidikan itu dinilai dari perilaku dan moral yang dilakukan selama dan setelah proses belajar. Ajarkanlah tentang apa yang harusnya boleh disentuh oleh orang lain atau tidak kepada anak semenjak kecil. Sekolah adalah tempat untuk mencetak manusia-manusia yang bermoral bukan tempat untuk melampiaskan nafsu dan menciptkan pedofil-pedofil baru!

Penulis:  Ihshan Gumilar , Peneliti dan Dosen, Psikologi Pengambilan Keputusan (Psychology of Decision-Making),

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement