Selasa 16 Jul 2013 14:37 WIB

Menguak Hikmah Menjadi Ketua Osis

OSIS
Foto: wikimedia
OSIS

REPUBLIKA.CO.ID, Asep Sapa'at

(Praktisi Pendidikan, Direktur Sekolah Guru Indonesia)

Cerita tentang Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS) meninggalkan kesan mendalam buat saya. Ada kisah klasik di masa SMP dulu yang tak mungkin saya lupakan. Inilah masa paling penting yang menggugah kesadaran saya tentang makna kepemimpinan. Saya coba merefleksikan pengalaman di masa lampau lewat tulisan ini.

Suatu ketika, OSIS menggelar acara rutin tahunan, yaitu pemilihan ketua OSIS. Saya tak paham betul, apa manfaatnya jadi ketua OSIS. Karena tak paham, tak terbersit sedikit pun keinginan untuk mencalonkan diri jadi ketua OSIS. Tapi ada satu kondisi yang tak bisa dicegah, tradisi mengangkat juara umum —Nilai tertinggi akademik di antara para juara kelas-- menjadi ketua OSIS sudah diwariskan turun temurun. Karena saya menduduki juara umum, secara otomatis saya didaulat dan dilantik menjadi ketua OSIS.

Maka, di tahun ajaran baru, saya mengalami dua kali naik kelas, lulus dari kelas 7 ke kelas 8 SMP dan naik menjadi ketua OSIS baru menggantikan ketua OSIS di periode sebelumnya.

Ada empat hikmah yang bisa dipetik dari masa kepemimpinan saya sebagai ketua OSIS. Pertama, kemampuan meraih prestasi akademik sangat berbeda dengan kemampuan memimpin. Mengapa demikian? Mempertahankan prestasi akademik sangat tergantung dari kemampuan mengatur strategi belajar. Tiap siswa punya gaya belajar sendiri. Maka, saya punya strategi khusus yang bisa membuat saya tetap unggul dalam meraih prestasi akademik di sekolah.

Pernah dengar istilah self-regulated learning strategy? Self-regulated learning (SRL) is learning that is guided by metacognition (thinking about one's thinking), strategic action (planning, monitoring, and evaluating personal progress against a standard), and motivation to learn. "Self-regulated" describes a process of taking control of and evaluating one's own learning and behaviour (http://en.wikipedia.org/wiki/Self-regulated_learning). Sekarang saya baru sadar, belasan tahun lalu saya sudah mempraktikkannya. Kuncinya ada pada proses mengontrol perilaku diri dan terampil mengelola lingkungan untuk satu tujuan, mencapai prestasi akademik yang baik.

 

OSIS mengalami disorientasi tujuan karena saya tak paham OSIS ini mau dibawa berlayar kemana. Saya sadar sepenuhnya, pemimpin harus punya visi, integritas, dan reputasi. Sebagai juara kelas, saya punya rapor baik. Itulah reputasi sebagai juara kelas.

Sebagai pemimpin, kerja konkret seperti apa yang pernah saya lakukan? Nol besar, saya tak pernah memimpin institusi sebelum menjadi ketua OSIS. Kenali potensi diri, syarat cukup jadi juara kelas. Kenali diri, bervisi, kenali potensi anggota tim, faktor-faktor kunci agar organisasi bisa sukses berlayar di bawah kepemimpinan seorang pemimpin. Saya bersyukur pernah gagal jadi ketua OSIS, pelajaran teramat berharga bagi masa depan saya.

Hikmah kedua, saya tak mampu merancang program kerja OSIS berbasis kebutuhan siswa karena tak paham persoalan. OSIS sejatinya menjadi organisasi yang mampu mewakili aspirasi siswa. Pahamilah, salah satu sifat kepemimpinan adalah kemampuan mengenali persoalan sebelum soal itu jadi matang dan besar. Sejatimya, pemimpin adalah orang yang bisa melihat lebih banyak dari orang lain, lebih jauh dari orang lain, dan lebih dahulu dari orang lain. Kekeliruan terbesar saya sebagai pemimpin, saya terlalu berfokus pada diri sendiri.

Saya lebih cenderung mengamankan posisi saya sebagai juara kelas dibandingkan merancang program yang pro terhadap kebutuhan pengembangan diri siswa. Padahal, pemimpin mesti total dan loyal untuk memberikan yang terbaik untuk orang lain, bukan sekadar untuk dirinya sendiri.

Hikmah ketiga, saya jadi paham beda antara visi dan ambisi. Membangun OSIS sebagai organisasi terpercaya dan terdepan dalam pengembangan diri siswa, itu visi. Visi berorientasi untuk kemaslahatan orang lain. Bedakan dengan keinginan saya untuk masuk ke SMA favorit pasca lulus dari SMP, visi atau ambisi? Nah, saya pikir ini adalah ambisi. Sifatnya berorientasi untuk diri sendiri. Jika pemimpin tak paham beda visi dan ambisi, maka pengikut pun akan kebingungan apakah pemimpinnya itu visioner atau ambisius.

Hikmah keempat, proses pemilihan ketua OSIS harus dirancang sistematis agar mampu menjadi sarana terbaik melatih jiwa kepemimpinan para siswa. Mengangkat ketua OSIS dengan mengacu pada prestasi akademik saja nyatanya telah membuat OSIS gagal berkembang. Yang paling fatal, proses kaderisasi tak berjalan baik. Mestinya, sistem kelembagaan OSIS dan ketua OSIS mendesain proses pengkaderan dengan membina adik-adik kelasnya yang duduk di jajaran wakil ketua OSIS atau yang berkomitmen aktif di kepengurusan. Saya pikir ini cara paling cerdas. Persoalannya, apakah sekolah yang mandatnya diberikan kepada Pembina OSIS sungguh-sungguh mengawal proses kaderisasi kepemimpinan di tubuh OSIS?

Peter Drucker pernah berujar, “Sepanjang sejarah peradaban manusia, tak ada kedudukan yang lebih penting ketimbang pemimpin”. Setiap orang adalah pemimpin. Mereka akan ditanya tentang apa yang dipimpinnya. Pertanggungjawaban, itulah sesuatu yang tak pernah terungkap maknanya. Sejarah hanya mengungkap yang tersurat. Seolah setelah dunia diukir, jadilah kumpulan kisah itu sebagai penggalan-penggalan sejarah dengan kenangan masing-masing.

 Padahal tanggung jawab, merupakan konsekuensi dari apa yang telah tergurat sejarah. Dan saya pun selalu merasa punya tanggung jawab moral atas apa yang telah terjadi. Awalnya saya selalu merasa bersalah jika mengingat pengalaman sebagai ketua OSIS. Namun, bukankah ini cara terbaik untuk melatih sifat-sifat kepemimpinan? Saya tak kuasa mengubah masa lalu. Saya punya masa kini dan masa depan, mampukah saya jadi pemimpin yang baik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement