Selasa 31 Jan 2012 13:24 WIB

Sensei

Asep Sapa’at (kiri) dan Kubochi Sensei
Foto: Dokpri
Asep Sapa’at (kiri) dan Kubochi Sensei

Beberapa waktu silam, saya membaca up date status kolega saya di Facebook, seorang mahasiswi yang sedang studi di Gunma University, Jepang. “Sensei saya care sekali. Hari itu kondisi badan saya kurang fit. Sebelum perkuliahan dilakukan, sensei bertanya pada saya tentang kondisi badan saya, sebab musabab terjadinya, & beberapa saran untuk memulihkan kondisi fisik saya”.

Wah, seru juga punya dosen seperti itu. Saya sangat terkesan dengan cerita tersebut. Selebihnya, saya hanya tahu, itu hanyalah ungkapan biasa, umumnya yang dilakukan para pengguna facebook lainnya, yaitu up date status.

Hingga di suatu waktu, saya berjumpa dengan Kubochi sensei. Kubochi Ikuya, guru sains dari Ohzu High School, Ehime-Pre, Jepang. Saya bertemu dengannya di gelaran International Conference on Lesson Study 2010 di Bandung. Beliau berkenan tampil sebagai guru tamu pada kesempatan open lesson (kegiatan pembelajaran yang diobservasi secara terbuka) di salah satu SMP berstatus RSBI di Lembang, Bandung.

Tak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Setelah acara open lesson selesai, saya berada satu bis bersamanya. Kesempatan emas untuk menggali sisi unik pribadinya sebagai seorang guru. “Apakah Anda mencintai profesi guru? Mengapa Anda mencintai profesi guru?” tanya saya pada Kubochi.

Dengan santai, Kubochi menjelaskan bahwa dirinya sangat mencintai anak-anak dan pelajaran sains. Dua hal itulah yang menjadi sumber inspirasi baginya untuk menjadi guru. “Ketika siswa berhasil dalam belajar mereka, hal itu menjadi sesuatu yang teramat sangat berharga dalam hidup saya,” kilah guru penyuka olahraga sepakbola ini.

Selidik punya selidik, ternyata di belakang Kubochi sensei ada seorang energik nan baik hati, dialah Prof. Yumiko Ono, salah seorang dosen di Naruto University of Education. Ono sensei pula yang membimbing & membantu persiapan mengajar Kubochi di sesi open lesson tersebut. Kolaborasi apik antara guru & dosen dari Jepang.

Waktu berselang 3 bulan, saya bertemu lagi dengan Kubochi di Hong Kong. Learning from The Others: Reflecting on Teacher learning in Science Teaching Exchange Project, judul paper yang dipresentasikannya di acara Konferensi Internasional Pendidikan Guru Se-Asia Pasifik. Lagi-lagi, Ono sensei --berada di balik episode terpenting dalam karir keguruan seorang Kubochi-- mengantarkan ‘muridnya’ menjadi penyaji makalah di acara konferensi internasional. Mungkinkah ini bukti kecintaan sang guru pada murid? Saya yakin, mereka berdua punya kunci jawabannya.

Di lain waktu, selang satu tahun bersua dengan Kubochi & Ono sensei, saya bertemu lagi dengan Kodama sensei. Beliau adalah seorang JICA Junior expert – Guru IPA yang mengajar di salah satu SMP negeri di kota Bandung. Perjumpaan sarat makna karena ada banyak tukar gagasan & pemikiran tentang potret wajah guru di Indonesia & di Jepang. Lengkap dibumbui cerita menginspirasi, memilukan, sekaligus memalukan tentang kisah hidup guru-guru Indonesia yang sempat beliau temui.

Saya cukup menjadi pendengar sejati saja. Ada kisah guru yang beliau kagumi karena kedisiplinannya, saya merasa senang. Kisah konyol tentang guru yang tak bikin rencana pembelajaran pun beliau ceritakan. Bulu kuduk saya merinding dibuatnya. Selama saya berbincang dengan Kodama sensei, selama itu pula saya mencari waktu yang tepat untuk segera menanyakan satu hal penting. Dan, kesempatan emas itu pun datang juga. “Apakah Anda mencintai profesi guru? Mengapa Anda mencintai profesi guru?” segera pertanyaan itu meluncur dari mulut saya.

Saya dibuat terkaget-kaget dengan jawabannya, “Saya sangat mencintai profesi guru. Hal tersulit adalah menentukan pilihan hidup menjadi guru. Sekali menjadi guru & tetap untuk selamanya. Saya sangat mencintai murid-murid saya, itulah yang membuat saya bahagia karena bisa melakukannya dengan menjadi seorang guru”.

Sesaat setelah Kodama sensei mengutarakan jawabannya, entah kenapa, saya teringat dengan jawaban Kubochi sensei setahun silam. Saya seorang guru, bukan sutradara. Saya tak cakap membuat skenario di balik sebuah kisah. Saya hanya ingin meyakinkan, kisah ini pun terjadi di luar skenario saya. Ada kesamaan jawaban, meski pertanyaan diberikan kepada dalam waktu yang berbeda, pada dua orang berbeda dengan satu profesi yang sama, guru. Mereka berdua, mencintai murid-muridnya.

Eh, tiba-tiba saya terlibat diskusi dengan seorang kolega yang sedang menyelesaikan studi doktoralnya di Jepang. Pertanyaan ini berbeda dengan yang pernah saya ajukan kepada Kubochi & Kodama sensei. Kali ini saya sekedar bertanya, “Mas, menurut sampeyan, sensei yang baik itu yang seperti apa?”. “Sensei yang baik itu yang tahu potensi anak-anaknya. Dan dia bersungguh-sungguh menjadi jalan kesuksesan bagi anak-anaknya,” jawabnya singkat & padat. Beruntung saya tidak segera menutup sesi diskusi dengannya.

Beberapa menit kemudian, di layar monitor tampil kata-kata berikutnya, “... Saya punya teman, Abe sensei namanya. Dia mengajar di Kiryu Daiichi High School, Jepang. Setiap hari dia mengantar murid-muridnya pulang sampai stasiun dengan berjalan kaki. Hal itu biasa dilakukan semata untuk memastikan murid-muridnya pulang dengan selamat & lancer.”

Mata saya terus memelototi layar monitor, membaca secara cermat kata demi kata tersebut. Wah, sungguh luar biasa. Kubochi, Kodama, & Abe, saya menyimpan kekaguman & rasa hormat yang tiada tara. “Kapan saya bisa bertemu Abe sensei?” sejenak pikiran saya menerawang.

Sensei sebutan bagi guru di Jepang. Sensei itu guru atau guru itu sensei, ah itu bukan perkara yang teramat substansial. Urgensinya, sensei atau pun guru perlu memiliki kecintaan yang besar pada murid-muridnya. Rasa cinta itu akan mewujud dalam sikap kasih sayang & peduli pada setiap hal yang terjadi pada murid-muridnya. Siapa yang mau diajar & dididik oleh sensei seperti Ono, Kubochi, Kodama, & Abe? Sebelum Anda selesai membaca pertanyaan saya tadi, telunjuk tangan saya sudah terangkat ke udara. Sensei oh sensei.

Asep Sapa'at

Teacher Trainer di Divisi Pendidikan Dompet Dhuafa

    

    

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement