Senin 03 Dec 2018 19:51 WIB

Wacana Pemangkasan SKS Harus Dikaji Ulang

Jumlah SKS yang saat ini diterapkan tidak menghambat penelitian dosen.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Esthi Maharani
Kampus Universitas Al-Azhar Indonesia.
Foto: Dok Republika
Kampus Universitas Al-Azhar Indonesia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dosen Ilmu Hukum di Universitas al-Azhar Indonesia, Prof Suparji Ahmad menilai wacana pemangkasan jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) pada jenjang sarjana dan diploma mesti dikaji kembali. Kajian yang mendalam dinilai penting agar ketika kebijakan tersebut diimplementasikan tidak menimbulkan masalah.

“Langkah tersebut harus dikaji mendalam agar tidak menimbulkan masalah dan dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman,” kata Suparji saat dihubungi Republika, Senin (3/12).

Pemangkasan SKS yang dilatarbelakangi minimnya penelitian dosen akibat sibuk mengajar, menurut dia tidak sepenuhnya benar. Karena berdasar pada pengalamannya, jumlah SKS yang saat ini diterapkan tidak menghambat penelitian dosen. Karena dosen masih memiliki banyak waktu senggang, jika memang bermaksud meneliti di luar kegiatan mengajar.

“Yang ada, lemahnya penelitian para dosen itu karena faktor apresiasi dan implementasi hasil penelitian yang kurang dan tidak maksimal,” tegas dia. Sehingga, acapkali hasil penelitian para dosen hanya menjadi dokumentasi dan tumpukan kertas di perpustakaan.

Sebelumnya, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) mewacanakan untuk memangkas jumlah Satuan Kredit Semester (SKS) pada jenjang sarjana (S1) dan diploma. Namun berapa jumlah SKS yang akan dipangkas masih dikaji oleh pihak Kemenristekdikti.

Menristekdikti Mohammad Nasir mengatakan, saat ini bobot SKS untuk S1 mencapai 144 SKS dan diploma mencapai 120 SKS. Jumlah SKS tersebut dinilai terlalu berat,menghambat kreativitas mahasiswa, dan juga membebani pembiayaan.

"Saya kira untuk S1 jadi maksimal 120 SKS, dan D3 90 SKS itu sudah cukup," kata Nasir.

Selain mahasiswa, kata Nasir, bobot SKS tersebut juga dinilai membebani dosen. Karena dengan jumlah SKS tersebut, dosen terlalu sibuk mengajar di kelas dan lupa melakukan penelitian.

"Kalau SKS nya terlalu banyak, mahasiswa dan dosen tidak bisa mengeluarkan kemampuannya dengan baik dan dosen tidak bisa melakukan penelitian untuk meningkatkan kualitas mengajar," ucap Nasir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement