Rabu 10 Oct 2018 19:54 WIB

'Lembaga Pendidikan Harus Bebas dari Kampanye Politik'

Lembaga pendidikan tidak dijadikan area kampanye

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Esthi Maharani
Dwia Ariestina Pulubuhu
Foto: Dok Humas Unhas
Dwia Ariestina Pulubuhu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Prof Dwia Aries Tina Pulubuhu menegaskan, semua lembaga pendidikan baik sekolah, pesantren, pendidikan tinggi dan lainnya harus terbebas dari kampanye politik. Jika tujuannya ingin mencerdaskan pemilih pemula, maka bisa dilakukan pendidikan pemilih, itu pun sifatnya harus netral dan tidak ada aspek politik praktis.

“Sebaiknya di lembaga pendidikan tidak dijadikan area kampanye untuk menghindari agar konsentrasi para pelajar tidak terganggu. Terutama jika ada efek negatif dari kampanye. Juga untuk menghindari praktek politik praktis yang bisa dimanfaatkan dengan berbagai cara,” tegas Prof Dwia yang juga menjabat sebagai rektor Universitas Hasanuddin Makassar saat dihubungi Republika, Rabu (10/10).

(Baca: Mendagri Persilakan Sosialisasi Pemilu ke Sekolah)

Pendidikan pemilih tersebut, dia melanjutkan, bukan dilakukan oleh partai politik atau partisan. Sebaiknya pendidikan politik di lembaga pendidikan dilakukan oleh pakar dan lembaga penggiat politik yang independen.

“Kita boleh bersuara dan turut serta dalam pesta demokrasi di negara Indonesia, tapi yang harus selalu dipegang adalah netralitas,” ungkap Dwia.

Dia juga mengimbau agar semua rektor baik perguruan tinggi negeri (PTN) maupun perguruan tinggi swasta (PTS) untuk selalu menjaga netralitas. Meskipun tidak semua rektor dan pejabat di perguruan tinggi berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN), namun semua rektor dan civitas akademika harus tetap menjunjung netralitas tersebut.

Dia tidak menampik saat ini banyak perguruan tinggi yang dinilai rentan. Bahkan ada rektor yang juga merangkap sebagai politisi. Hal itulah, jelas dia, yang harus dikritisi dan menjadi perhatian bersama agar mereka tidak mencoreng independensi yang seharusnya dibangun di perguruan tinggi.

“Misalnya saja bagaimana kalau ada perguruan tinggi yang dibangun oleh yayasan NU atau Muhammadiyah, ada toh? Kan kita semua tahu NU itu melekat pada salah satu partai mana, kemudian Muhammadiyah juga sama,” jelas dia.

Untuk itu, kata Dwia, FRI memiliki peran untuk mengingatkan bagaimana netralitas itu dibangun di lingkungan akademik. Karena bagaimanapun kita harus tegas bersikap bagaimana perguruan tinggi itu tidak dicampuradukkan dengan politik praktis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement