Selasa 20 Mar 2018 16:17 WIB

Profesor ITB Ciptakan Batu Bara Ramah Lingkungan

Penelitian terobosan ini adalah pembuatan batu bara hibrida.

Rep: Zuli Istiqomah/ Red: Budi Raharjo
Truk membawa batu bara di area pertambangan batu bara. (ilustrasi)
Foto: Antara/Prasetyo Utomo
Truk membawa batu bara di area pertambangan batu bara. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG -- Guru Besar Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof Dwiwahju Sasongko berhasil menciptakan batu bara ramah lingkungan. Teknologi ini diciptakan setelah pemanfaatan sumber energi batu bara yang dieksploitasi secara besar-besaran sejak abad ke-19.

Profesor Dwiwahju Sasongko atau akran disapa Prof Song mengatakan dibandingkan bahan bakar fosil lain, minyak bumi dan gas bumi (gas alam), batu bara menghasilkan emisi carbon dioksida yang lebih banyak dan partikulat dalam bentuk partikel abu. Memasuki abad ke-20, aktivis-aktivis lingkungan mulai menyerukan pengurangan penggunaan batu bara.

Selain menyebabkan terbentuknya emisi gas rumah kaca, pembakaran batu bara juga berpotensi mencemari lingkungan dengan senyawa seperti NOx dan SOx yang menyebabkan hujan asam. Padahal, kata Prof Song, batu bara masih menjadi sumber energi utama bagi industri karena cadangan yang berlimpah, biaya investasi peralatan yang lebih rendah, dan dukungan teknologi yang sudah matang.

Karenanya dibutuhkan terobosan baru agar batu bara tetap bisa digunakan tapi aman terhadap kelestarian lingkungan. "Agar lebih ramah lingkungan, teknologi pemrosesan batu bara memerlukan terobosan dalam pengembangannya. Terobosan yang telah diimplementasikan pada skala komersial adalah pada teknologi pembakaran," katanya seperti dalam siaran pers yang diterima Republika, Selasa (20/3).

Penelitian terobosan yang saat ini dilakukan oleh Pak Song bersama Dr Winny Wulandari dan Dr Jenny Rizkiana, adalah pembuatan batu bara hibrida. Dilatarbelakangi bahwa batu bara peringkat sedang dan rendah belum atau masih sedikit dimanfaatkan. Sementara itu Indonesia memiliki potensi limbah biomassa yang banyak dan juga masih sedikit dimanfaatkan, kedua bahan bakar padat ini dikonversi menjadi batu bara hibrida.

Batu bara hibrida ini dikatakannya dibuat dengan mencampurkan partikel batu bara dan biomassa (misal serbuk gergaji kayu) menggunakan perekat (binder). Kemudian memprosesnya dengan pirolisis pada temperatur rendah atau sering disebut sebagai proses torefaksi.

Dengan proses ini, ujarnya, sebagian bahan volatil mengalami dekomposisi dan terlepas dari matriks batubara/biomassa sehingga nilai kalor bahan bakar padat ini lebih tinggi dibandingkan nilai kalor umpan. Biomassa menjadi lebih hidrofobik sehingga tidak mudah membusuk dan tingkat ketergerusannya meningkat sehingga pengecilan ukuran partikel batubara hibrida untuk umpan FBC maupun PF lebih mudah dilakukan.

"Yang lebih menarik, emisi CO2 pada pembakaran batu bara hibrida lebih rendah dibandingkan dengan batu bara umpan karena CO2 yang dihasilkan pada pembakaran biomassa adalah CO2 netral," ucapnya.

Ia menyebutkan bahwa saat ini Indonesia memiliki cadangan terbanyak ke-9 atau sekitar 2,2 persen dari seluruh cadangan batu bara dunia. Sayangnya, sekitar 80 persen cadangan batu bara Indonesia termasuk batu bara peringkat sedang dan rendah dengan nilai kalor kurang dari 5000 kkal/kg.

Batu bara dengan nilai kalor yang rendah ini masih sedikit atau belum dimanfaatkan. Dengan produksi batu bara lebih dari 400 juta ton per tahun, hanya sekitar 20 persen yang dimanfaatkan untuk keperluan dalam negeri sementara 80 persen diekspor.

Industri dapat memilih tiga jenis tungku yaitu fixed bed (stoker), fluidized bed (FBC=Fluidized Bed Combustion), dan entrained bed (PF=Pulverized Firing). Akhir-akhir ini, FBC menarik perhatian karena temperatur operasi yang relatif rendah (800-900C) yang sedikit menghasilkan NOx dibandingkan dengan 1200-1400C pada PF. FBC menggunakan umpan partikel batubara ukuran skala mm sehingga memerlukan energi yang lebih kecil untuk penggerusan dibandingkan dengan PF yang membakar partikel batu bara skala m.

"Selain itu, penambahan batu kapur selain pasir sebagai media pemanas dapat menangkap SOx menghasilkan gipsum. Seiring dengan perkembangan FBC, teknologi PF juga berkembang dengan modifikasi teknik pembakaran sehingga temperatur operasi lebih rendah yang berarti penurunan emisi NOx," ujarnya.

Selama ini, Prof Sasongko dan tim juga melakukan penelitian lain untuk menanggulangi dampak negatif pada pemrosesan batu bara. Selain dilakukan secara fisik dan kimiawi, kandungan sulfur dalam batu bara dapat disisihkan dari batu bara secara biologik dengan memanfaatkan Thiobacillus ferrooxidans.

Beliau juga memanfaatkan Trichoderma sp dan metode biologik lainnya untuk memutus rantai hidrokarbon dalam matriks batu bara menghasilkan bahan bakar cair melalui biosolubilisasi. Dengan mengkonversi batu bara menjadi bahan bakar cair, abu tidak akan dihasilkan pada pembakaran.

Selain itu, Prof Sasongko dan tim juga melakukan penelitian untuk memanfaatkan abu batu bara yang dihasilkan PLTU untuk sintesis zeolit. Zeolit dapat berfungi sebagai adsorben atau katalis dan memiliki nilai ekonomi yang jauh lebih menjanjikan dibandingkan dengan abu batu bara yang saat ini dimanfaatkan sebagai bahan baku pabrik semen atau konstruksi/bangunan.

Penelitian-penelitian tersebut tentunya menjadi jawaban atas amanah pemerintah dalam pasal 25 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional, yang menyatakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan penerapan teknologi energi diarahkan untuk mendukung industri energi nasional dan secara eksplisit pasal 24 ayat (2) memberikan kesempatan lebih besar kepada perusahaan nasional dalam pengelolaan minyak, gas bumi, dan batubara.

"Mengingat beberapa keunggulan yang dimiliki batu bara dan telah banyak upaya untuk mengatasi dampak negatifnya, Indonesia memiliki potensi untuk memberikan kontribusi pada pengembangan teknologi pemrosesan batu bara ramah lingkungan di masa kini dan masa depan," tuturnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement