Ahad 25 Feb 2018 14:42 WIB

Menengok Perkembangan Tenun Lurik di Indonesia

Pembuatan lurik menggunakan alat tenun bukan mesin dapat terus bertahan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Yusuf Assidiq
Kegiatan seminar Tenun Lurik Its History, Present, and Future.
Foto: Wahyu Suryana.
Kegiatan seminar Tenun Lurik Its History, Present, and Future.

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Tenun Lurik mengalami perjalanan yang berlika-liku. Sekelumit perjalanan sempat diungkapkan Kepala Bidang Perindustrian, Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Yoenanto Sinung Noegroho, di seminar Tenun Lurik Its History, Present, and Future.

"Sebelum alat tenun bukan mesin (ATBM) dikenal, proses tenun di sekitaran Klaten tersebut dikenal dengan nama Tenun Gendong," kata Yoenanto, di Djarum Hall Pertamina Tower, Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Sabtu (24/2).

Ia mengungkapkan, pemakaian alat-alat tenun lurik itu mulai timbul sejak masa penjajahan Belanda. Sejumlah catatan menerangkan jika kemunculan itu salah satunya dimulai oleh sosok Suhardi Hadi Sumarto di sekitaran Kecamatan Semanu.

Pada 1948, lanjut Yoenanto, penerapan alat tenun bukan mesin sempat dihentikan karena Clash II, serangan militer Belanda yang berlangsung 1948-1949 di Wehrkreise. Setelah itu, dukungan bahan baku baru kembali diberikan sekitar 1960.

"Bantuan bahan baku diberikan kepada 500 unit usaha dengan jumlah 40 ribu alat tenun bukan mesin," ujar Yoenanto, pada seminar yang digelar atas sinergi Fakultas Ekonomika dan Bisnis bersama Fakultas Ilmu Budaya UGM.

Kemudian, pengusaha-pengusaha tenun lurik mulai memiliki kesadaran untuk membentuk satu persatuan dengan bergabung ke Koperasi Tekstil Seluruh Indonesia (Kopteksi). Hal itu membuat pemasaran tenun lurik tersebar ke seluruh Indonesia.

"Lalu pada 1968 muncul penanaman modal dalam negeri, salah satunya dari PT Kusuma Nanda Putra yang menghadirkan lurik dengan alat tenun mesin," kata Yoenanto, di depan puluhan mahasiswa dan mahasiswi Jepang dari Hiroshima University of Economics

Itu membuat alat tenun bukan mesin mengalami penurunan cukup signifikan. Hebatnya, pembuatan lurik menggunakan alat tenun bukan mesin dapat terus bertahan. Terlebih, secara posisi perkembangan tenun lurik sendiri memiliki posisi strategis.

Pasalnya, tenun lurik setidaknya bergelut di dua daerah besar yaitu Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, terutama Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta. Selain itu, tenun lurik berada di dua bandara udara besar yaitu Adi Soemarmo dan Adi Sucipto.

"Untuk Kabupaten Klaten sendiri, industri-industri tenun lurik banyak tersebar di bagian selatan, dan saat ini jumlah industri kecil menengah ada sekitar 33 ribu, dengan usaha mikro kecil menengah berjumlah 53 ribu unit," ujar Yoenanto.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement