Jumat 23 Feb 2018 07:09 WIB

Pemangkasan Insentif Profesor Dinilai tak Selesaikan Masalah

Setidaknya ada lima kendala yang selama ini dihadapi para profesor menulis jurnal.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Andi Nur Aminah
Profesor sedang melakukan riset (ilustrasi)
Foto: abc
Profesor sedang melakukan riset (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Rektor Universitas Trilogi Prof Asep Saripuddin meminta Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti), mempertimbangkankan bentuk sanksi yang akan diberikan kepada para profesor yang dinilai tidak produktif. Sebab menurut dia, masalah yang melatarbelakangi itu tidak sederhana dan tidak juga akan tuntas dengan ancaman pencabutan insentif.

"Jadi, akarnya harus dicari, bukan ujungnya. Selain itu memang umumnya perguruan tinggi adalah teaching university bukan research university, jadi indikatornya juga tidak harus di paper riset," kata Asep kepada Republika.co.id, Jumat (23/2).

Menurut Asep, setidaknya ada lima kendala yang selama ini dihadapi para profesor maupun dosen di perguruan tinggi, sehingga berpengaruh pada keproduktifan menulis jurnal. Pertama, tidak semua perguruan tinggi memiliki program strata tiga (S3) yang berbasis riset.

Sehingga profesor tersebut waktunya akan dihabiskan untuk mengajar di strata satu (S1). Akhirnya, Asep mengatakan, bila sudah terlalu banyak mengajar profesor tersebut akan sulit menulis jurnal. "Padahal menulis paper riset itu harus dipelihara secara terus menerus. Kalau tidak, akan menjadi karatan atau rheumatik, kaku-kaku," kata Asep.

Kedua, dia melanjutkan, dana riset yang tersedia relatif kecil dan tersedot ke perguruan tinggi yang sudah matang. Akhirnya perguruan tinggi yang tertinggal akan terus tertinggal, sulit berkompetisi, dan kegiatan risetnya minim. Efeknya dosen-dosen pun tidak memiliki materi untuk dijadikan paper.

Berikutnya, ketiga terkait jurnal umumnya di luar negeri menggunakan bahasa Inggris. Para profesor yang ada, kata Asep, tidak terbiasa menulis paper dalam bahasa Inggris yang mudah dibaca. Berbeda dengan profesor di Malaysia dan Singapura, mereka sudah mahir berbahasa Inggris sejak SD bahkan TK.

"Jadi tulisan paper riset kita kalah bersaing akhirnya ditolak jurnal-jurnal, walaupun bisa saja substansinya bagus. Tetapi kalau bahasanya tidak bisa dimengerti, ya ditolak," ungkap Asep.

Masalah keempat, karena perguruan tinggi di Indonesia jarang yang mempunyai lembaga khusus untuk penghalusan paper. Umumnya PT menyerahkan menulis paper ke individu dosen, tanpa bantuan satu unit untukjurnal. Misalnya Unit Scientific English writing yang bertugas membereskan bahasa paper sebelum dikirim ke jurnal internasional.

Terakhir, Asep mengatakan, banyak profesor yang terjebak jabatan struktural. Hal ini juga wajar karena income mereka tidak cukup untuk hidup tenang di zaman now. Karenanya, dia meminta agar pemerintah bisa mencari jalan keluar untuk masalah-masalah tersebut terlebih dahulu, sebelum memberlakukan sanksi. Terlebih, sanksi yang akan diberikan berhubungan dengan tunjangan.

Sebelumnya, Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) tidak segan-segan memangkas tunjangan kehormatan Profesor yang tidak produktif menulis ilmiah. Sebab, berdasarkan aplikasi Science and Technology Index (SINTA) Ristekdikti selama tiga tahun terakhir, ada 2.678 profesor yang jurnalnya tidak memenuhi syarat sesuai dengan Permenristekdikti Nomor 20 Tahun 2017.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement