Senin 05 Feb 2018 17:17 WIB

Gemuruh Izin Kampus Asing

Pemerintah membuka peluang operasional perguruan tinggi asing di Tanah Air.

Universitas Cambridge
Foto: dailymail
Universitas Cambridge

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejak Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) membuka peluang operasional perguruan tinggi asing di Tanah Air pekan lalu, gemuruh penolakan terus berlanjut. Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) Budi Djatmiko menilai izin penyelenggaraan perguruan tinggi asing di Tanah Air tidak tepat.

Sebab, akan mengancam keberadaan perguruan tinggi yang sudah ada. Bahkan pihaknya akan menyatakan mosi tidak percaya kepada pemerintah, jika pemerintah terus melanjutkan rencana memberi izin perguruan tinggi asing (PTA) tanpa memberikan ke­sempatan perbaikan optimal terhadap PTS.

"Kami sepakat tidak menerima, karena bisa 'membunuh' perguruan tinggi yang sudah ada," ujar Budi Djatmiko.

Menurut Budi, izin operasional kampus asing tidak tepat karena setiap tahun, angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi setiap tahunnya hanya sekitar 30,1 persen sehingga tidak naik-naik.

Plus Minus Kampus Asing ke Indonesia

"Orang kuliah ke luar negeri, tujuannya bukan hanya perguruan tingginya saja. Tetapi ingin merasakan pengalaman di luar negeri, jadi bukan semata-mata tujuannya untuk kuliah di perguruan tinggi itu," kata mantan Rektor Universitas Pasundan itu.

Budi juga mengaku khawatir jika perguruan tinggi asing diperbolehkan beroperasi, maka perguruan tinggi tingkat atas akan memangsa pasar perguruan tinggi menengah. Perguruan tinggi menengah akan memangsa pasar perguruan tinggi kecil. Kecuali jika perguruan tinggi asing itu memang diperuntukkan bagi warga negara asing yang ingin menuntut ilmu di Tanah Air bukan untuk mengambil pasar perguruan tinggi yang sudah ada.

"Menurut saya, sebaiknya pemerintah fokus pembenahan kualitas perguruan tinggi negeri (PTN). Kasih bantuan sebanyak-banyaknya untuk riset. Biarkan perguruan tinggi swasta (PTS) mencari uang sendiri dengan diperbolehkan menerima mahasiswa sebanyak-banyaknya. Tentunya tanpa mengorbankan kualitas," kata dia.

Sementara itu, pemerhati pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof Said Hamid Hasan mengatakan kampus asing akan mendapatkan keuntungan besar jika beroperasi di Tanah Air.

"Hal itu terjadi karena tingkat kelahiran yang rendah di negara asal dan kesulitan dalam peminat dan dapat menjadi ancaman bagi eksistensi perguruan tingginya," kata Hamid.

Jika perguruan tinggi asing didirikan di Indonesia maka tersedia pasar calon mahasiswa yang berlimpah, terlebih ketika beberapa perguruan tinggi di Tanah Air, tidak mau menambah jumlah mahasiswa dengan alasan kualitas.

Selain itu jumlah dosen memang dipersulit pengangkatannya dan ketersediaan fasilitas yang kurang, biaya operasional yang mahal, dan cara kerja dosen yang tidak produktif.

Regulasi harus jelas

Mantan Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) Edy Suandi Hamid mengatakan peraturan mengenai perguruan tinggi asing harus jelas agar yang masuk ke Indonesia adalah perguruan tinggi asing berkualitas.

"Peraturan mengenai perguruan tinggi asing ini harus jelas. Jangan sampai nanti tiba-tiba sudah perguruan tinggi asing yang masuk dan Jakarta belum siap. Untuk itu harus diatur, perguruan tinggi asing seperti apa yang boleh masuk ke Indonesia," kata Edy.

Edy yang kini menjabat sebagai Rektor Universitas Widya Mataram Yogyakarta (UWMY) mengatakan jangan sampai perguruan tinggi asing yang masuk tidak berkualitas. Harus diatur, perguruan tinggi asing yang diizinkan masuk adalah perguruan tinggi yang berkualitas serta unggulan.

"Lalu, bagaimana dengan mitranya di Tanah Air, kualifikasi mitranya juga harus jelas. Jangan sampai malah hanya menjadi mitra pasif".

Edy menjelaskan bahwa misi masuknya perguruan tinggi asing adalah agar perguruan tinggi yang ada saat ini terdorong kualitasnya bukan malah membuat bangkrut.

Dengan adanya aturan yang jelas tersebut, ada persaingan yang sehat sehingga perguruan tinggi yang ada semakin tertantang. Untuk itu, regulasi bagi perguruan tinggi asing, harus jelas contohnya program studi apa saja yang boleh, kemudian beroperasi dimana saja dan kemitraan dengan lokal. Intinya, lanjut Eddy, adalah aturan yang bisa menguntungkan semua pihak.

Ide mengenai perguruan tinggi asing masuk ke Tanah Air ini, lanjut Edy, sudah lama sejak The General Agreement on Trade in Services (GATS) 1995. Kemudian ada Perpres 77/2007 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Kemudian dilanjutkan pada UU 12 tahun 2012 tentang Pendidikan tinggi.

Tak perlu khawatir

Wakil Ketua FRI Asep Saipuddin mengimbau perguruan tinggi swasta tidak khawatir dengan perguruan tinggi asing.

"Kita tidak usah khawatir dengan beroperasinya perguruan tinggi asing, karena hal itu merupakan rencana induk Kemristekdikti sehubungan dengan pendidikan dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0," kata Asep.

Langkah tersebut, juga bagian dari arah menuju masyarakat yang berpengetahuan. Untuk itu, perguruan tinggi asing yang diizinkan haruslah kampus yang berbasis riset yang mengisi daerah-daerah perbatasan yang sumber dayanya belum teroptimalkan.

"Contohnya kampus asing yang kuat terintegrasi dengan peternakan di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB)."

Perguruan tinggi asing, tambah Asep, harus berinvestasi untuk inovasi, pengetahuan serta mengajak perguruan tinggi lokal dan nasional.

"Jadi jangan sekedar, mencari mahasiswa sarjana. Semua itu harus dalam koridor masa depan dengan semakin terbukanya dunia dengan industri 4.0.

Perguruan tinggi asing yang diperbolehkan buka, sebaiknya tipe universitas riset Oxford, Cambridge, Harvard, dan Massachusetts Institute of Technology (MIT).

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement