Senin 18 Dec 2017 22:55 WIB

Guru Besar IPB: Degradasi Akibat Pembangunan tak Terelakkan

Guru Besar Fakultas Kehutanan (Fahutan) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof  Dr Dodik Ridho Nurrochmat.
Foto: Dok IPB
Guru Besar Fakultas Kehutanan (Fahutan) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof Dr Dodik Ridho Nurrochmat.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Peningkatan produksi pertanian tidak bisa lagi dengan cara intensifikasi apalagi ditambah dengan adanya tuntutan swasembada. Harus ada perluasan lahan.

Hal yang memungkinkan adalah ekstensifikasi dengan membuka kawasan hutan. Tetapi pasti ada tekanan mengenai isu lingkungan.

“Sebagian besar petani hanya memiliki luas lahan 0,2-0,49 hektar. Ini hampir mustahil untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup keluarga, apalagi memenuhi kebutuhan pangan 261 juta jiwa rakyat Indonesia. Bandingkan dengan negara-negara maju seperti Amerika menyediakan 71 persen lahan daratannya untuk pertanian. Begitu juga Australia sekira 50 persen. Mereka maju di bidang pertanian karena tetap memperhatikan luasan lahan pertaniannya,” ujar Guru Besar Fakultas Kehutanan (Fahutan) Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof  Dr Dodik Ridho Nurrochmat.

Ia mengemukakan hal tersebut  saat menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan guru besarnya di Auditorium Andi Hakim Nasoetion, Kampus IPB Dramaga, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (16/12).

Ia mengatakan,  pada masa awal pembangunan, peningkatan pendapatan perkapita itu hampir pasti diikuti dengan degradasi lingkungan. Namun, sampai pada titik balik tertentu maka akan terjadi recovery. “Itu yang dahulu terjadi pada negara maju,” ujarnya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Senin (18/12).

Setelah mencapai tingkat kesejahteraan tertentu, umumnya akan terjadi titik balik di mana semakin tinggi tingkat kesejahteraan, masyarakat semakin peduli terhadap kelestarian lingkungan. Pada situasi ini laju degradasi lingkungan akan semakin kecil.

Namun demikian degradasi lingkungan dapat dipandang sebagai bagian dari proses pembangunan “jika dan hanya jika” degradasi terjadi tidak melampaui kemampuan lingkungan untuk pulih kembali.

“Oleh karena itu, sepanjang pembangunan adalah sebuah pilihan, kita mau bangun cepat dan degradasi agak banyak, asal masih di batas yang dibolehkan,” tuturnya.

Menurutnya, setiap makhluk hidup memiliki kemampuan beradaptasi menghadapi perubahan lingkungan. Oleh karena itu, konsep sustainability harus dipahami dalam konteks kemampuan berkreasi dan beradaptasi manusia terhadap perubahan lingkungan.

Ia menegaskan, upaya pemulihan lingkungan tidak harus diartikan sebagai zero environmental degradation. Pemulihan lingkungan perlu dilakukan sampai dengan batas kemampuan adaptasi manusia secara wajar.

Menurutnya, tidak ada model kelembagaan pengelolaan hutan yang sesuai untuk semua kondisi. Strategi pilihan kelembagaan pengelolaan sumberdaya hutan harus didasarkan pada kondisi modal sosial dan kapasitas negara.

“Jika kapasitas negara kuat dan modal sosial lemah, maka pilih state management. Jika kapasitas negara lemah dan modal sosial kuat, maka pilihlah community based management. Jika keduanya kuat, maka yang terbaik adalah collaborative management. Tapi jika keduanya lemah, maka pilihannya jatuh pada konsensi hutan,” tuturnya.

Ia menambahkan,  “Konsensi hutan adalah pilihan terbaik karena hutan sebagai common goods harus ada yang mengelola di lapangan. Jika tidak ada pengelola, maka hutan akan menjadi open acces. Ada beberapa hal yang menyebabkan kebijakan tidak bisa dilaksanakan yakni bad policy, bad execution, bad luck.”

Kuncinya, kata dia, adalah tidak menyeragamkan kepentingan para aktor. Yang bisa dilakukan adalah mencari irisan kepentingan sesungguhnya yang tidak berwujud. Contohnya illegal logging itu kepentingannya adalah uang. Kalau pelaku bisa menghasilkan sejumlah uang yang sama dari kegiatan hutan yang lain, misal dari tanaman hutan penghasil obat, maka dia tidak akan tebang pohon.

Untuk masalah di alokasi sumberdaya, Prof Dodik mengatakan solusinya adalah “Bagaimana kita memanfaatkan lahan secara wise. Kita harus mau berbagi lahan. Jangan terlalu kaku karena kita menghadapi persoalan riil dimana kita tidak mungkin memenuhi 260 juta mulut.”

Kedua, konversi lahan yang juga ada masalah di dalam kebijakannya. Banyak pemerintah daerah (Pemda) di Jawa yang berlomba-lomba merevisi tata kota wilayahnya.

“Jika tidak direvisi, maka kita bisa kehilangan jutaan hektar lahan sawah. Celakalah kita karena tidak mudah mengganti lahan sawah di Jawa. Satu hektar lahan sawah di Jawa sama dengan 3-5 hektar lahan sawah untuk menghasilkan produksi padi yang sama,” ujarnya.

 Hal ini karena faktor geofisik dan kulturnya yang beda. "Sehingga kalau hilang satu juta hektar sawah di Jawa, kita perlu lahan 3-5 kali lipat. Yang paling mudah kan ngambil lahannya dari hutan,” terangnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement