Rabu 11 Oct 2017 19:06 WIB

UGM Bangun Pembangkit Mikro Hidro di Pelosok Sulawesi Tengah

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Dwi Murdaningsih
Pembangkit Listrik Mikrohidro
Foto: Badan Wakaf Alquran
Pembangkit Listrik Mikrohidro

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Tim Peneliti Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) di Desa Lewara Sulawesi Tengah. Ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan listrik yang belum terlayani PLN, lantaran lokasi yang terpencil dan sulit dijangkau.

Desa Lewara berada di Kecamatan Marawola Barat, Kabupaten Sigi, lokasinya di bukit Matantimali dengan ketinggian kurang lebih 2.000 meter di atas permukaan laut. Desa Lewara berjarak sekitar 90 kilometer dari Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah.

Untuk mencapai lokasinya, dapat dijangkau dengan perjalanan darat selama satu jam menggunakan mobil dari pusat Kota Palu, hingga akses jalan terakhir dilewati mobil di Desa Matantimali. Selanjutnya perjalanan ke Lewara harus ditempuh dengan ojek khusus selama 30 menit melalui jalan setapak berbatu selebar 1 meter.

Fasilitas ini memanfaatkan aliran sungai Lewara yang memiliki debit kritis 90-100 liter/detik, yang nantinya akan dirancang dapat mengaliri listrik untuk 100 KK. "Kita manfaatkan aliran Sungai Lewara untuk pembangkit listrik dengan kapasitas 10 Kilowatt, tahap awal akan dialirkan ke 100 rumah, sehingga masing-masing mendapat listrik 100 watt," kata Ketua Tim Peneliti UGM, Suprapto Siswosukarto.

Prapto menekankan, masyarakat Lewara telah lama memimpikan bisa menikmati aliran listrik. Karenanya, lewat Community Resilience and Economic Development (CaRED), UGM menggandeng Pemerintah Selandia Baru untuk membangun daerah tertinggal di Indonesia timur, salah satunya menghadirkan listrik bagi masyarakat.

Bersama dengan tiga peneliti UGM lainnya yaitu Bambang Yulistiyanto, Aris Sunantyo, dan Prajitno, Prapto memulai membangun PLTMH dengan manfaatkan aliran Sungai Lewara sebagai pembangkit listrik. PLTMH telah dimulai pada Februari 2017 lalu, dan ditargetkan dapat segera selesai pada akhir Desember 2017.

"Adanya PLTMH ini tidak hanya untuk menghadirkan listrik bagi warga, namun lebih dari itu mampu meningkatkan pengembangan potensi ekonomi masyarakat," ujar Prapto.

Masyarakat Lewara tergolong miskin dan tingkat pendidikannya rendah. Mayoritas bekerja sebagai petani kakao, kopi, jagung, dan cengkeh dengan penghasilan kurang dari satu juta setiap bulan. Ketiadaan listrik tentu semakin mempersulit masyarakat untuk maju dan berkembang.

Salah satu warga Kampung I Lewara, Naji (53) menuturkan, warga Lewara sudah lama mengharapkan kehadiran listrik, tapi sampai saat ini belum dapat dinikmati langsung. Penerangan malam hari masih memakai alat penerangan tradisional lampu minyak, dan beberapa tahun terakhir mulai ada yang gunakan genset dan panel Surya.

Untuk memakai genset untuk menyalakan lampu mulai pukul 18.00-23.00 WITA, harus memiliki sekitar dua liter bensin, sedangkan harga bensin di wilayah ini 10.000 rupiah per liter. Itu artinya, pemilik genset harus mengeluarkan setidaknya 600.000 setiap bulannya untuk penerangan.

 "Sudah 72 tahun Indonesia merdeka, tapi Lewara belum merdeka, setiap malam kami hidup dalam gelap, hanya bisa memandang dari kejauhan kelap-kelip lampu Kota Palu, kami senang dan bersyukur dengan pembangunan PLTMH ini, semoga bisa segera menikmati listrik," kata Naji.

Advertisement
Berita Lainnya