Senin 25 Sep 2017 18:51 WIB

Peneliti UGM Kenalkan Pengolahan Sampah 'Windrow'

Petugas sampah memilah sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Modern di Kelurahan Utan Kayu Selatan, Matraman, Jakarta, Senin (9/11).
Foto: Republika/ Wihdan
Petugas sampah memilah sampah di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Modern di Kelurahan Utan Kayu Selatan, Matraman, Jakarta, Senin (9/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti bidang Ilmu Tanah Universitas Gadjah Mada (UGM) Anindita Farhani memperkenalkan upaya pengolahan sampah dengan menggunakan sistem pengomposan "Windrow" dengan gundukan meterial yang memanjang untuk pertukaran udara.

"Mengutip ahli, volume sampah dapat mencapai 64 juta ton dalam setahun. Oleh karena itu, perlu upaya pengolahan sampah untuk menanggulangi masalah tersebut," kata Anindita Farhani dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin (25/9).

Anindita menjelaskan, salah satu solusi jitu yang dapat dilakukan adalah dengan mengolah sampah menggunakan sistem pengomposan "Windrow", yang merupakan salah satu sistem pengomposan di tempat terbuka beratap dengan aerasi alamiah.

Selain cepat, lanjut Anin, sistem ini juga tergolong murah dan mudah untuk diterapkan. Masyarakat hanya perlu memilah sampah mereka antara yang organik (sersah daun, kotoran hewan dan sisa makanan), dan non-organik.

"Sebelum dikomposkan akan lebih baik jika sampah organik dicacah hingga berukuran 5-7 cm untuk mempercepat proses pengomposan. Sampah yang sudah dicacah diaduk terlebih dahulu dengan cairan mikroorganisme lokal dan tetes tebu yang diencerkan dengan air dengan perbandingan 1:1," paparnya.

Anin menjelaskan, proses pengomposan sistem windrow dilakukan dengan sampah organik yang telah disusun diatas bangunan windrow disiram secara rutin setiap seminggu sekali. Penyiraman ini dapat disesuaikan dengan kondisi sampah organik yang digunakan, semakin basah sampah maka semakin sedikit penyiraman yang diberikan.

Tumpukan sampah organik itu, ujar dia, dibiarkan 3-4 minggu hingga terkomposkan secara sempurna. Kompos yang sudah matang ditandai dengan bahan awal yang menjadi lunak, volume sudah menyusut, sudah tidak berbau menyengat, warna kompos coklat kehitaman sampai hitam, dan kondisi kompos sudah remah.

"Dengan sistem pengomposan "windrow", sampah organik yang akan dikomposkan akan mendapatkan aerasi yang cukup sehingga kompos lebih cepat matang. Sistem ini juga sangat mudah diterapkan karena hanya membutuhkan sampah organik, bangunan windrow, dan cairan MOL yang dapat diperoleh di toko pertanian dengan harga terjangkau," jelasnya.

Ia menambahkan, hasil kompos yang dihasilkan juga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Kompos organik dapat dijual dengan harga Rp 5.000-10.000 per kemasan 5 kilogram. Nilai tersebut, lanjutnya, cukup menguntungkan jika dibandingkan dengan modal yang hanya memanfaatkan sampah organik. Selain itu kompos ini juga dapat dibuat dengan skala kecil seperti rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pupuk sehingga masyarakat lebih tertarik untuk menanam dan memenuhi kebutuhan sayuran keluarga.

"Jika kompos organik itu dijual dengan harga Rp 5.000-Rp 10.000 per kemasan 5 kg, maka total sampak kompos per kemasan 5 kg menjadi sebanyak 348-360 ton per hari. Kalau dikalikan dengan nilai Rp 5.000-Rp 10.000 per kemasan 5 kg, maka total pendapatan masyarakat bisa mencapai Rp 1,74 miliar-Rp 3,6 miliar," paparnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement