Sabtu 22 Jul 2017 05:54 WIB

Ribuan Pulau Kecil akan Tenggelam pada 2030

Kepulauan Seribu, Jakarta, terancam tenggelam (foto atas) dan Prof Dietriech Geoffrey Bengen (foto bawah).
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Kepulauan Seribu, Jakarta, terancam tenggelam (foto atas) dan Prof Dietriech Geoffrey Bengen (foto bawah).

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki 14.752 pulau bernama dengan garis pantai 95.181 kilometer (km) dan luas lautnya 5,6 juta kilometer persegi (km2). Dari keseluruhan jumlah pulau tersebut, ada 10 ribu pulau kecil yang memiliki potensi sumberdaya alam pesisir yang sangat besar dan prospektif sebagai aset pembangunan.

Guru Besar Tetap Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (FPIK-IPB), Prof Dr Ir Dietriech Geoffrey Bengen, DAA, DEA, dalam jumpa pers pra orasi ilmiah di Kampus IPB Baranangsiang, Bogor, Jawa Barat, Kamis (20/7) mengatakan, perubahan iklim menyebabkan kenaikan muka air laut.

“Artinya jika pulau-pulau kecil yang bentuknya dataran tersebut ekosistemnya tidak dijaga dengan baik, seperti terumbu karangnya rusak, mangrove rusak, atau penangkapan ikan yang destruktif, maka saya perkirakan Indonesia akan kehilangan dua ribu pulau kecil yang berpotensi tenggelam pada tahun 2030. Bahkan bisa jadi sebelum itu. Yang paling dekat dengan kita ya Pulau Seribu, karena bentuk pulaunya dataran,” ujarnya.

Menurutnya, pulau-pulau kecil memiliki potensi besar tetapi masyarakat yang ada di pulau-pulau tersebut kehidupan ekonominya masih rendah. Sebabnya adalah letaknya yang “remote” atau jauh dari daratan utama, lokasi pasarnya jauh.

Sumber ikan banyak tetapi tidak bisa terjual di pasar karena tidak ada sarana dan prasarana yang memadai. “Daging ikan itu mudah busuk. Ikan harus diawetkan menjadi ikan presto, ikan asin atau dibekukan. Harus ada cold storage sehingga kesegaran ikan bisa dipertahankan. Tapi masyarakat di pulau-pulau kecil belum memiliki sarananya. Jadi potensi besar tapi secara ekonomi masyarakatnya belum baik,” imbuhnya.

Selain sarana dan prasarana yang terbatas dan lokasi jauh, faktor lainnya adalah tingkat pendidikan yang rendah dan keberpihakan  pemerintah terhadap pembangunan pulau-pulau kecil. “Orientasi kita selama ini adalah fokus ke pembangunan daratan. Paradigma ini belum berubah sehingga potensi laut termarjinalkan,” ujarnya.

Ia mengatakan, salah satu solusinya adalah mengubah paradigma tersebut dan laut harus menjadi pemersatu dan penggerak pembangunan. Caranya adalah dengan minawisata. “Nelayan tidak harus ke pasar untuk menjual ikan, tetapi pembeli yang harus didatangkan ke pulau-pulau tersebut dengan pariwisata, yakni dengan menggabungkan perikanan dan ekowisata,” tuturnya.

Ia mengemukakan, pengembangan terpadu bisa di satu pulau atau beberapa pulau. Konsep pengembangannya beda antara pulau dataran dan pulau bukit. Pulau dataran hanya bisa 30-50 persen digunakan sebagai objek wisata, selebihnya untuk konservasi. Pulau berbukit bisa lebih besar pemakaiannya karena tidak rentan terhadap perubahan iklim.

 

“Pulau-pulau kecil bisa dimanfaatkan. Karena di sekitar pulau inilah kita masih bisa menemukan terumbu karang yang bagus, dan lain-lain. Tentu dengan penataan sedemikian rupa,” papar Dietriech Geoffrey Bengen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement