Rabu 15 Feb 2017 15:13 WIB

Peneliti UGM Kembangkan Mikroalga Jadi Sumber Bioenergi

Rep: Rizma Riyandi/ Red: Yudha Manggala P Putra
Mikroalga
Foto: ANTARA
Mikroalga

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM) berhasil mengembangkan mikroalga dari Pantai Glagah sebagai sumber bioenergi. Mirkoalga yang dikembangkan oleh Dosen Fakultas Biologi UGM, Eko Agus Suyono berupa tetraselmis sp dan konsorsium mikroalga strain.

Sejak 2004, Eko telah mengembangkan kultur dan rekayasa mikroalga dari strain-strain lokal. Ia mengemukakan, penelitiannya bermula dari keprihatinan semakin menipisnya cadangan minyak bumi di Indonesia. Sementara itu, kebutuhan energi nasional terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Melihat kenyataan tersebut Eko berupaya mencari alternatif solusi untuk mengatasi krisis energi di Indonesia. Dia melihat adanya potensi besar mikroalga sebagai sumber bioenergi. Ditambah keberadaan mikroalga di Indonesia melimpah dan belum dimanfaatkan secara optimal.

“Indonesia memiliki potensi besar untuk mikroalga, karena sekitar 70 persen wilayah berupa laut. Sehingga keanekaragaman mikroalga di Indonesia sangat besar untuk dikembangkan menjadi bioenergi,” katanya.

Eko menyampaikan awalnya ia meneliti mikroalga menggunakan isolat impor. Pasalnya saat itu, Indonesia belum mampu memproduksi isolat. Kebanyakan barang tersebut didatangkan dari Amerika Serikat, Inggris, dan Jepang.

"Lalu saya pun mencoba untuk mencari mikroalga strain lokal," katanya. Eko kemudian mulai menggunakan isolat lokal yang sudah dikembangkan di Indonesia berupa Tetraselmis sp. strain Ancol dan beberapa strain lokal lainnya.

Hasilnya, dari single strain tersebut dan fermentasi memakai Saccharomyces cerevisiae mampu menghasilkan bioetanol. Melalui inkubasi selama 48 jam dapat diproduksi 0,36 g etanol/g biomassa. Hasil tersebut setara dengan hasil bioetanol tertinggi yang pernah dilaporkan dalam publikasi penelitian di Korea.

Meskipun terbukti mampu menghasilkan bioetanol, namun kultivasi mikroalga tersebut belum dapat menghasilkan biomassa dalam jumlah cukup besar untuk memproduksi bahan bakar nabati yang memadai. Lalu Eko mulai meneliti kembali dengan menggunakan multiple strain mikroalga. Hasilnya lebih baik dibanding dengan single strain, tetapi tetap belum bisa menghasilkan biomassa yang besar.

Eko pun terus meneliti dan mengembangkan isolat mikroalga lokal yang berhasil dia isolasi dari pantai Glagah, Kulon Progo, DIY yang dinamai konsorsium strain Glagah. Dia lalu mencoba menggunakan konsorsium atau kumpulan mikroalga strain Glagah tersebut , yang ternyata bersimbiosis dengan bakteri untuk bahan baku biodisel.

Konsorsium mikroalga itu tersusun atas 6 spesies yaitu mikroalga Cyclotella polymorpha, Cylindrospermopsis raciborskii, Golenkinia radiata, Syracosphaera pirus, Corethron criophilum, dan Chlamydomonas sp. Sedangkan bakteri penyusun konsorsium mikroalga tersebut terdiri dari genus Corynebacterium, Bacillus, Pediococcus, dan Staphylococcus.

"Hasilnya jauh lebih baik dibanding menggunakan single strain maupun multiple strain mikroalga. Bisa dihasilkan biomassa dalam jumlah lebih besar," papar pria yang kini menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Penelitian, Pengabdian Masyarakat, Kerjasama dan Alumni Fakultas Biologi ini.

Dalam pengembangan selanjutnya Eko menggunakan sistem biorefinary. Dengan sistem itu tidak hanya menghasilkan biodisel, tetapi produk lain seperti obat-obatan dan kosmetik, makanan, pakan dan senyawa aktif lain.

"Melalui sistem bioefinery ini bisa menekan biaya produksi biodisel sampai tiga kali lipat lebih murah,” katanya. Eko menjelaskan mikroalga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk bahan bakar nabati.

Penggunaan spesies ini pun tidak bersaing dengan tanaman pangan dan tidak mengurangi luas lahan tanaman pangan. Selain itu, masa panen mikroalga lebih singkat dibandingkan tanaman pangan lainnya. Mikroalga bisa dipanen di usia tiga sampai 21 hari. "Ke depan perlu dilakukan penelitian lebih mendalam agar mikroalga lokal dengan bakteri simbion ini bisa digunakan sebagai bahan bakar alternatif terbarukan untuk mengatasi krisis energi nasional,” ujar Eko.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement