Selasa 31 May 2016 16:15 WIB

BEM UMM Persoalkan RUU Tax Amnesty

Rep: Christiyaningsih/ Red: Dwi Murdaningsih
Universitas Muhammadiyah Malang.
Foto: Republika/Nico Kurniajati
Universitas Muhammadiyah Malang.

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Rancangan Undang-Undang (RUU) Tax Amnesty yang akan diparipurnakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dalam waktu dekat menimbulkan kegelisahan dari mahasiswa. Melalui Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), mereka mempersoalkan keefektifan RUU Tax Amnesty ini dalam Konferensi BEM se-Jawa Timur.

Dalam acara yang digelar di Theater UMM Dome, Selasa (31/5), hadir sebagai pemateri, Pengamat Hukum Pidana yang juga Wakil Rektor III UMM Sidik Sunaryo dan Dosen Perpajakan Program Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Eny Suprapti.

Dalam pemaparannya, Sidik mengungkap jika kebijakan Tax Amnesty bertentangan dengan prinsip keadilan dan kemanfaatan. Ia menyebut, seorang yang tidak membayar pajak tidak sepatutnya mendapatkan ampunan dari negara. Di Jepang, pejabat negara yang tidak membayar pajak itu akan memiskinkan dirinya sendiri.

"Malu dia kalau tidak bayar pajak, karena itu sama dengan korupsi," ujar dosen Fakultas Hukum ini.

Sidik mengungkap, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia saat ini mencapai Rp 2.200 triliun. Sedangkan hutang negara ini sendiri mencapai Rp 3.200 triliun. Kondisi ini menunjukkan adanya defisit anggaran sekitar Rp 1.000 triliun.

“Seandainya para pengemplang pajak itu membayar pajaknya secara jujur, mungkin defisit anggaran ini bisa tertutupi,” ujarnya.

Ketua Pelaksana konferensi ini, Riyanda Barmawi menyebut banyak pejabat negara yang dalam melaporkan kekayaannya tidak jujur. Misalnya, dalam LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) mereka mencantumkan kekayaan yang mereka simpan hanya 300 Juta. "Padahal ada miliaran rupiah yang sebenarnya ia simpan di bank-bank luar negeri yang tidak terdeteksi di dalam negeri,” ungkap mahasiswa Ilmu Pemerintahan ini.

Selain itu, DPR, menurut Riyanda dalam menyusun RUU ini berdasarkan logika materiil semata, bukan logika hukum yang benar. “Ini yang ingin kami luruskan, bahwa RUU ini masih butuh banyak pertimbangan sebelum benar-benar disahkan dalam paripurna nanti,” katanya.

Hasil konferensi dan diskusi yang diadakan ini, lanjut Riyanda, akan dibawa ke Komisi XI DPR-RI dan kemudian pihak BEM akan melakukan dengar pendapat dengan anggota Komisi XI DPR-RI.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement