Selasa 19 Apr 2016 05:33 WIB

Cerita Orang Tua yang Kedua Putrinya Jadi Dokter Termuda di Indonesia

Rep: s bowo pribadi/ Red: Esthi Maharani
Logo Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang
Logo Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang

REPUBLIKA.CO.ID, Ada kebanggaan yang membuncah saat pasangan AKBP (Purn) Helmi SH dan Rofiah saat berada di tengah-tengah deretan orang tua wisudawan, di aula Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang, Senin (18/4). Untuk kali kedua, mereka menyaksikan putrinya mengenakan toga dan menerima ijazah sarjana kedokteran di usia yang masih cukup belia.

 

Momentum ini pertama kali mereka saksikan di Universitas Gadjah Mada (UGM) saat sulung mereka, Riana Helmi yang kala itu usianya 17 tahun, 9 bulan, diwisuda sebagai sarjana kedokteran termuda di tanah air. Bahkan ia dicatat Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI).

 

Kini keduanya kembali menyaksikan bungsu mereka, Rafidah Helmi yang masih berusia 17 tahun, 8 bulan menjadi salah satu wisudawan pada Wisuda ke-71 Unissula Semarang. Ia 'mengalahkan' kakaknya dengan menjadi dokter termuda di Indonesia sepanjang sejarah.

 

“Modalnya hanya disiplin, belajar dan berdoa,” kata Helmi ditemui di kompleks kampus Unissula Kaligawe.

 

Sebagai orang tua, jelasnya, ia dan istrinya hanya meletakkan nilai disiplin dalam mendidik putrinya. Ia menceritakan sejak kecil, Riana maupun Rafidah memang memiliki kemampuan akademik yang menonjol dalam keluarga dan selalu mengikuti kelas akselerasi sejak SD hingga SMA.

Hal ini diamini Rofiah, yang mengaku harus bergantian dalam menerapkan disiplin dan mendidik putrinya. Ia mengaku sebagai orang tua hanya memfasilitasi apa keinginan anak.  Dalam pendidikan anak-anaknya, ia dan sang suami tak pernah menerapkan pola yang keras selalu membebani dengan target atau otoriter, meski berasal dari keluarga Polri.

 

“Alhamdulillah, ketiganya memiliki tanggungjawab yang besar sebagai pelajar. Paling kami hanya meluluskan permintaan, jika mereka berkeinginan untuk mengikuti bimbingan belajar (bimbel),” jelasnya.

 

Meski begitu sempat muncul kecemasan, ketika harus melepas putrinya –Riana dan Rafidah—yang harus mandiri karena harus belajar di luar kota, saat masih berusia 14 tahun.  Terutama saat Riana masuk di FK UGM. Saat awal kuliah, sang suami harus menengoknya tiap pekan ke Yogyakarta.

Namun itu hanya berlangsung dua tiga kali mengingat jarak Sukabumi- Yogyakarta yang jauh. Selebihnya ia dan suaminya hanya memberi kepercayaan kepada sang anak untuk belajar mandiri dan selalu berdoa agar putrinya senantiasa diberikan perlindungan selama menuntut ilmu di daerah lain.

 

Pengalaman ini pula yang membuat keduanya tak begitu mencemaskan kondisi Rafidah saat harus belajar di Semarang.

“Artinya, pengalaman yang baik juga kami ajarkan kepada Rafidah, selama kuliah di Unissula,” tegasnya.

 

Sementara Rafidah sendiri mengakui, masuk TK kecil saat berusia 3,5 tahun. Namun TK kecil ini hanya dijalaninya hanya dua hari. Karena kemampuannya ia pun masuk di kelompok TK besar. Pendidikan dasar dilaluinya hanya lima tahun setelah ia mengikuti kelas akselerasi. Pun demikian jenjang SMP dan SMA, yang masing- masing hanya dijalani dua tahun.

“Sehingga saya masuk FK Unissula saat masih berusia 14 tahun,” jelasnya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement