Sabtu 28 Nov 2015 19:54 WIB

'Jumlah Riset di Indonesia Hanya 0,09 Persen'

Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohamad Nasir saat diskusi kick-Off Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas 20) di gedung BPPT, Jakarta, Kamis (26/3).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristek Dikti) Mohamad Nasir saat diskusi kick-Off Hari Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas 20) di gedung BPPT, Jakarta, Kamis (26/3).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir mengatakan bahwa jumlah penelitian di Indonesia hanya 0,09 persen dari Gross Domestic Product (GDP).

"Jumlah riset di Indonesia hanya 0,09 persen, jika dibandingkan dengan Thailand, maka selisih 0,6 persen, sedangkan untuk Malaysia selisih 0,91 persen," katanya dalam seminar Memperkuat Sinergi dan Integritasi Pencapaian Excelent University Untuk Keunggulan Bangsa di Unair Surabaya, Sabtu (28/11).

Ia mengatakan, angka 0,09 persen tersebut disuplay dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebesar 84 persen, sementara di negara maju lainnya riset peneliti didukung oleh dunia industri.

"Peneliti Indonesia yang terdata sekitar 250 orang dari 1 juta penduduk, yang berarti jumlah peneliti tersebut tentu saja terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mendekati 240 juta jiwa," tuturnya.

Menurut dia, saat ini sumber daya manusia ilmu dan pengetahuan, khususnya peneliti Indonesia yang terdaftar di LIPI sebanyak 8 ribu orang dan 16 ribu peneliti bekerja di perguruan tinggi, sementara peneliti yang berada di bawah naungan institusi swasta masih belum dapat dipastikan jumlahnya.

"Harus ada komitmen antara peneliti dengan perguruan tinggi supaya riset yang dihasilkan bisa mempunyai makna, dengan cara hilirisasi kepada industrialisasi, atau lebih bagus lagi bekerja sama dengan pihak pemerintah setempat," katanya menerangkan.

Ia mencontohkan bahwa Unair memiliki Fakultas Farmasi, dimana 92 persen obat-obatan dibeli dari luar negeri, jika kemudian hal itu memicu para dosen atau mahasiswa membuat suatu riset, maka harga obat-obatan di Indonesia bisa ditekan.

"Sebanyak 92 persen obat-obatan kita adalah impor, jika kemudian dosen atau mahasiswa bisa memanfaatkan hasil bumi untuk menjadi bahan baku obat, maka hasilnya akan sangat bermanfaat dan bisa menekan harga obat-obatan yang dinilai sangat mahal," jelasnya.

Pada bidang pangan, lanjutnya permasalahan Indonesia yang masih impor daging harus diubah dengan memanfaatkan para peneliti, misalnya dengan riset merekayasa genetik kepada hewan untuk membudidayakan hewan-hewan.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement