Kamis 30 Jul 2015 14:29 WIB

Rektor UGM: Pengelolaan Air Harus Dioptimalkan

Rep: C97/ Red: Yudha Manggala P Putra
Warga mengambil air dari sumur buatan warga untuk kebutuhan rumah tangga di Kali Cipamingkis, Bekasi, Jawa Barat, (29/07).
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Warga mengambil air dari sumur buatan warga untuk kebutuhan rumah tangga di Kali Cipamingkis, Bekasi, Jawa Barat, (29/07).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN - Rektor UGM, Dwikorita Karnawati menyampaikan agar pengelolaan air pada musim hujan dilakukan secara optimal. Hal ini penting dilaksanakan untuk mencegah terjadinya bencana kekeringan pada musim kemarau.

Menurutnya curah hujan yang cukup tinggi di Indonesia mampu memenuhi kebutuhan air pada saat defisit musim kemarau. Namun ternyata potensi tersebut tidak serta merta mengurangi dampak kekeringan di berbagai daerah. Padahal masa musim hujan cukup panjang selama enam bulan.

“Permasalahannya adalah bagaimana pengelolaan sumberdaya air yang tepat. Sehingga melimpahnya air selama musim penghujan mampu memenuhi kebutuhan kita di musim kemarau,” tuturnya, Kamis (30/7).

Ia menyebutkan, berdasarkan BNPB, saat ini terdapat delapan propinsi di Indonesia yang memasuki periode rawan kekeringan meteorologis.

Antara lain, NTB, NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Gorontalo dan Sulawesi Tenggara. Kekeringan meteorologis ini direspon berbeda oleh masing-masing wilayah. Hal tersebut tergantung pada kondisi tutupan lahan, kondisi geomorfologi atau geologi, karakteristik daerah aliran sungan (DAS), tingkat kerusakan lingkungan, dan tata perilaku masyarakat dalam pemanfaatan air.

“Akibatnya, symtom-symtom kekeringan akan muncul secara gradual. Hak ini berdampak bagi keberlangsungan fungsi ekosistem maupun tata kehidupan masyarakat,” ujar Dwi. Melihat kondisi tersebut UGM memberikan beberapa rekomendasi. Berupa pemenuhan jaminan hak dasar ketersediaan air, akses air bagi seluruh rakyat, dan penguatan ketahanan sosial dalam pengelolaan sumberdaya air, melalui gerakan hemat air secara massif.

Meskipun musim kemarau belum berlangsung lama, warga di perbukitan Prambanan mulai merasakan kekeringan. Sumur-sumur warga dan cadangan air di bak penampungan mengering. Karena itu sebagian warga mulai membeli air. Namun sebagian lainnya memilih mengambil air dari rembesan pipa transmisi yang melintas pemukimannya.

Satu di antaranya, warga Dukuh Gedang Atas, Desa Sambiharjo, Kecamatan Prambanan Wiji (90). Di usia yang sudah lanjut, ia harus mengambil air ember penampungan rembesan pipa. "Biasanya dari pagi sudah ada yang antri. Saya tadi mulai antri mengambil air pukul 08.00," ungkapnya.

Ia hanya dapat mengumpulkan tiga jeriken air ukuran sedang setiap harinya. Air tersebut harus dibagi untuk mencukupi kebutuhan seluruh anggota keluarga termasuk anak, cucu, dan cicitnya. Wiji menyampaikan, kebiasaan tersebut mulai dilakukan sejak beberapa hari menjelang Lebaran. Karena sumur timba miliknya sudah benar-benar kering.

"Karena sudah kering, ya terpaksa menampung rembesan," katanya. Wiji mengatakan rembesan tersebut tidak setiap hari mengeluarkan air. Bahkan, seringkali rembesan yang keluar dari pipa hanya berupa tetesan. Sehingga air yang bisa dikumpulkan warga hanya sedikit.

Sedangkan harga air Rp 100 ribu per tangki dengan kapasitas 5.000 liter. Jika digunakan untuk minum ternak seperti sapi, air tersebut hanya bertahan satu bulan. Harganya pun bisa berubah, apalagi jika sudah banyak pembeli. Namun truk pengangkut air tidak lewat setiap hari.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement