Senin 22 Jun 2015 13:32 WIB

Hapus Skripsi, PT di Bandung Angkat Bicara

Rep: mj04/ Red: Agus Yulianto
Kampus UPI Bandung
Foto: Republika/Edi Yusuf
Kampus UPI Bandung

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristek-Dikti), Muhammad Nasir, mengaku akan menerapkan aturan bahwa tugas akhir skripsi untuk mahasiswa setingkat S1, menjadi sebuah pilihan atau opsional. Kebijakan itu pun akhirnya mendapatkan beragam pendapat dari akademisi perguruan tinggi (PT) di Bandung, khususnya para rektor.

Rektor Universitas Padjadjaran (Unpad), Prof Tri Hanggono Achmad mengatakan, dalam kebijakan tersebut bukan menghapus atau bahkan mengubah kompetensi yang akan dicapai. Kata dia, tetap saja seorang mahasiswa lulus dengan kompetisi yang sama seperti sebelumnya, namun dengan metode penentu kelulusan yang lebih opsional.

“Pada dasarnya, nantinya kompetensi yang akan dicapai mahasiswa adalah kemampuan berpikir komprehensif yang sama dengan sebelumnya. Namun dengan kebijakan baru tersebut, bentuknya tidak harus skripsi. Masih banyak metode lain yang bisa ditempuh," kata Tri, belum lama ini.

Sedangkan Rektor Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Prof Furqon mengatakan, penghapusan skripsi masih sekedar wacana. Jadi, kata dia, perlu diskusi panjang dan pengkajian yang matang untuk melihat rencana ini agar bisa diadaptasikan oleh universitas-universitas yang ada.

Menurutnya, sebelum menetapkan kebijakan tentang penghapusan skripsi, sebaiknya melihat dulu konteks dan perkembangan di negara lain. “Jadi melihat perbanding dari negara tersebut, maka kita baru bisa mempelajari bagaimana bisa mengaplikasikannya. Karena dengan melihat dari negara-negara lain, kita bisa melihat keefektivan rencana penghapusan skripsi tersebut dengan kompetensi yang diterpakan di Indonesia,” kata Furqon.

Namun demikian, Furqon melihat kondisi di lapangan menyangkut masalah ini, ternyata masih ada yang menggunakan skripsi dan ada juga yang tidak. Sehingga masih perlu dikaji lenjut.

Dikatakan Furqon, bangsa Indonesia harus terbuka terhadap dinamika yang ada dalam dunia pendidikan. Jangan sampai hanya ikut tren, tapi melupakan atau kurang waspada terhadap konsekuensi.

“Karena, pada prinsipnya dengan rencana kebijakan ini diharapkan mahasiswa atau lulusan tidak hanya pintar secara teori saja, tetapi juga dituntut harus bisa menulis,” katanya.

Rektor ITB Prof Kadarsah Suryadi juga menanggapi berbeda mengenai penghapusan skripsi untuk kelulusan mahasiswa. Baginya, dijadikan penentu kelulusan atau tidaknya skripsi, bukan menjadi suatu masalah. Semuanya tergantung pada kebutuhan prodinya masing-masing.

“Semuanya bergantung pada prodi itu membutuhkan dokumentasi tertulis atau tidak. Menurut saya, masih perlu skripsi itu sebagai alat komunikasi tertulis. Kami akan tetap mempertahankan adanya penulisan skripsi untuk membentuk mahasiswa kami terampil berkomunikasi secar tulisan maupun verbal,” ujarnya.

Namun, kata dia, terkait bagaimana rencana penghapusan skripsi bagi penentu kelulusan mahasiswa, memang masih perlu dikaji lebih jauh baik dari pemerintah maupun universitas. Sebab, harus bisa melihat tingkat keefektivan dan kesesuaian dari kebijakan yang ada dengan kebuthan dari universitas-universitas yang ada.

Yang tak kalah penting, kata Kadarsah, nantinya apapun hasil akademik yang ditetapkan untuk kelulusan harus bisa didiseminasikan. Sehingga, kalaupun nantinya tanpa skripsi di akhir studi, justru akan lebih sederhana dan memudahkan mahasiswa dalam kelulusannya tanpa mengurangi atau bahkan menghilangkan standar kompetensi yang ada sebelumnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement