REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Senat Dewan Guru Besar Unika Atma Jaya Alois Agus Nugroho mengatakan, penyebab kurangnya doktor maupun guru besar di tanah air kalau diusut ke belakang karena mulainya pendidikan di Indonesia yang cukup terlambat. Baru pada abad 20 penjajah Belanda menerapkan politik etis karena Belanda sebelumnya tidak ingin rakyat Indonesia pintar karena bertujuan mengambil bahan mentah.
Sedangkan pemerintah kolonial Inggris yang menjajah Singapura maupun Malaysia, ujar Agus, bukan mencari barang mentah. Sehingga mereka berupaya mendidik rakyat lokal agar mempunyai daya beli.
"Itu memberikan keuntungan pendidikan di Malaysia dan Singapura. Selain itu Indonesia juga lebih kental budaya lisan dari pada budaya baca dan tulis sehingga padahal yang namanya doktor harus banyak membaca dan menulis,"kata Agus.
Tingkat ketelitian dan akurasi di Indonesia, terang Agus, masih sangat lemah. Contohnya saja kalau janjian mau bertemu selalu bilang kapan-kapan berbeda dengan bangsa Eropa yang selalu berusaha tepat waktu saat bertemu.
"Makanya wajar kalau Indonesia jumlah doktornya sedikit. Sebab latar belakang dan budaya mempengaruhi, ini yang harus diubah, perlu revolusi mental,"kata Agus.
Di Indonesia, ujar Agus, yang meprihatinkan masih adanya budaya nerabas yang ingin instan. Ada calon guru besar yang melakukan plagiasi sehingga tidak heran kalau Dikti jadi sangat berhati-hati saat mau memberikan persetujuan seseorang untuk menjadi guru besar.