Kamis 10 Mar 2011 08:22 WIB
Trending News

Sekolah Terpaksa Berutang untuk Biaya Operasional

Rep: C01/C02/ Red: Johar Arif
Proses belajar mengajar di sekolah, ilustrasi
Foto: Antara
Proses belajar mengajar di sekolah, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID-Herlina tak habis pikir. Sudah tiga bulan berlalu, namun dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diberikan pemerintah tak juga masuk ke rekening sekolah yang dipimpinnya. Padahal, biasanya, dana BOS itu sudah ditransfer pada pekan kedua setiap bulan.

Apa boleh buat, Kepala Sekolah SDN Bintara Jaya, Bekasi Barat, Jawa Barat, ini pun terpaksa mencari utang ke koperasi sekolah untuk menutup keperluan biaya operasional sekolah. ''Kalau tidak berutang dulu, gaji guru honorer, kapur, dan tinta, siapa yang mau membayar?'' ujar Herlina ketika ditemui Republika Rabu (9/3).

Uang pinjaman bisa jadi merupakan jalan pintas yang bisa dijadikan solusi oleh Herlina untuk menalangi dana BOS yang tak kunjung cair. Mengingat pula, sekolah kini sudah dilarang untuk memungut biaya untuk operasional sekolah ke orang tua murid. ''Sudah tiga bulan ini kami berutang ke koperasi,'' ungkapnya.

Herlina menyatakan, biaya operasional yang mesti dikeluarkan sekolah cukup tinggi setiap bulannya. Sebagian besar biaya itu digunakan untuk menggaji guru honorer yang di SDN Bintara Jaya saja terdapat sebanyak delapan guru honorer. Sekolah yang memiliki siswa sekitar 400 orang ini mau tak mau mesti menggunakan jasa mereka karena belum meratanya guru PNS.

Tentu, sekolah tak sanggup bila terus-menerus harus menanggung gaji huru honorer tersebut. Herlina menceritakan, pencairan dana BOS biasanya selalu lancar. Ya, baru tiga bulan terakhir inilah, pembayaran dana BOS macet. ''Keterlambatan ini yang paling parah karena sampai tiga bulan,'' kata Herlina.

Herlina pun kini hanya berharap agar dana BOS segera cair. Apalagi, Rencana Kegiatan Anggaran (RKA) sekolah yang sekarang dijadikan syarat untuk mencairkan dana BOS telah dibuat. ''Kita sudah buat RKA, tapi dana belum juga cair,'' ujarnya terheran-heran.

Masalah macetnya pembayaran dana BOS rupanya terjadi di banyak daerah. Di Depok, Jawa Barat, kasus serupa juga terjadi. Seperti yang dialami SDN Pondok Cina 3 dan SDN Mampang 1. Akibat tertundanya dana BOS, Kepala Sekolah SDN Pondok Cina 3, Ade Komalasari, tak bisa memperbaiki jalan rusak di depan sekolah. Karena, perbaikan jalan itu direncanakan sepenuhnya menggunakan dana BOS. ''Kami memperbaiki seadanya dulu,'' ujarnya.

Sedang Kepala Sekolah SDN Mampang 1, Yeni Mulyani, juga harus menangguhkan beberapa keperluan sekolah sampai dana BOS turun. Dan sebagai cara tercepat, dana pinjaman menjadi solusi untuk menutup kekurangan biaya operasional sekolah. ''Ibaratnya rumah tangga, makan jalan terus, kebutuhan ada terus, tapi uangnya tidak ada. Mau tidak mau, kita utang dulu,'' sergahnya.

Selain telat, Kepala Sekolah SDN 01 Menteng, Jakarta Pusat, Hasimah, mengkhawatirkan penggunaan dana BOS yang tak boleh lagi digunakan untuk mengganji guru honorer menyusul diterapkannya mekanisme dan rambu-rambu baru. Mekanisme ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Hasimah mengeluhkan penggunaan dana BOS yang lebih rumit dan ketat. Beberapa kriteria penggunaan dana BOS tersebut terkait dengan penggajian guru honorer, belanja modal, dan belanja jasa. ''Sekarang sudah tidak bisa ‘menyeberangkan’ dana BOS ke pos lain yang masih butuh dana,'' ungkapnya.

Ia mengatakan, sebelum aturan baru diberlakukan pada 2011, penggunaan dana BOS masih sangat fleksibel sehingga bisa dimanfaatkan untuk menggaji guru honorer, membeli alat tulis kantor (ATK), atau hal lain yang belum didanai dari sumber dana pemerintah.

Padahal, lanjut Hasimah, di sekolahnya masih terdapat 14 orang pegawai honorer baik sebagai guru atau karyawan lainnya. Dia menyebutkan, untuk tiga orang guru honorer hanya digaji sebesar Rp 2,6 juta per bulan. Ternyata, sama dengan di sekolah lain, dana BOS juga telat dicairkan hingga tiga bulan lamanya.

Pihak sekolah pun harus putar otak untuk tetap bisa mempekerjakan pegawati honorer dan menggajinya setiap bulan. Kalaupun disiasati, ia juga mengaku khawatir jika diaudit terjadi kesalahan antara data dan fakta di lapangan. ''Jalan terakhir mungkin harus dilakukan pemutusan hubungan kerja,'' katanya dengan berat hati.

Hasimah mengibaratkan kondisi ini sebagai buah simalakama. Satu pihak, sekolah dibatasi penggunaan dana BOS. Tetapi jika pemecatan dilakukan, sekolah akan kekurangan tenaga pengajar dan dikhawatirkan itu bisa membuat siswa telantar. ''Kalau begini terus, siapa nanti yang mau jadi guru?'' tanyanya.

Namun untuk saat ini, Hasimah bersikeras tidak akan melakukan PHK terhadap karyawan dan guru honorernya. Ia mengaku, untuk tiga bulan pertama, gajinya sendiri ‘terpaksa’ digunakan untuk membayar gaji tenaga pendidik honorer di sekolahnya. ''Mereka nggak mungkin harus menunggu tiga bulan untuk dapat gaji dan makan. Nggak mungkin menyengsarakan orang,'' tuturnya.

Becermin dari persoalan itu, Hasimah meminta pengaturan penggunaan dana BOS bisa lebih dibuat fleksible. Yang penting, pengalokasian dana BOS bisa tetap dipertanggungjawabkan untuk kegiatan operasional sekolah. ''Jumlahnya boleh saja bertambah, tapi alokasinya juga jangan membuat pusing kepala sekolah karena yakinlah dana itu akan dipakai untuk biaya operasional,'' tegas Hasimah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement