Selasa 26 Sep 2017 00:01 WIB

Polisi Ungkap Sejumlah Fakta Kasus ‘Gladiator’ di Bogor

Ilustrasi Anak Sekolah Tawuran
Foto: Foto : MgRol_92
Ilustrasi Anak Sekolah Tawuran

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Proses hukum kasus perkelahian antarpelajar ala "gladitor" terus berjalan dan sejumlah fakta terungkap dari hasil penyelidikan yang dilakukan Satreskrim Polresta Bogor, Jawa Barat. Kapolresta Bogor Kota Kombes  Ulung Sampurna Jaya mengungkapkan, satu dari lima tersangka anak kasus ‘gladiator’ masih dalam pencarian.

"Total tersangka anak ada lima orang, empat sudah kita dapatkan, satu orang lagi inisial FR masih dalam pencarian," kata Ulung  di Mapolresta Bogor, Senin (25/9).

Kasus perkelahian ala ‘gladiator’ yang melibatkan SMA Budi Mulia dan SMA Mardi Yuana ini terjadi 29 Januari 2016. Total ada 14 saksi anak yang telah dimintai keterangan. Dari 15 orang tersebut, lima orang ditetapkan sebagai tersangka anak. 

Kelima orang tersebut, yakni BV (yang melakukan), HK (menyuruh, melakukan), MS (membiarkan, menempatkan dan ikut serta), TB (menyuruh melakukan dan menempatkan), dan FR yang masih dalam pencarian. "Tersangka anak berasal dari kedua sekolah," katanya. 

Dari keterangan para saksi perkelahian ala ‘gladiator’ atau ‘bom-boman’ sudah menjadi tradisi antara kedua sekolah tersebut. Tradisi tersebut diduga sudah empat tahun berlangsung. Tradisi tersebut baru terungkap setelah ada kejadian yang menewaskan Hilarius Christian Even Raharjo (15 tahun) pada 2016. 

"Sudah jadi tradisi selama empat tahun, tapi tidak setiap tahun ada. Tahun 2015 tidak berjalan, baru 2016 ada lagi, dan langsung kejadian (tewas)," kata Ulung. 

Tradisi itu hanya untuk mendapatkan pengakuan saja. Hanya melibatkan kedua sekolah. Tidak ada taruhan uang, ataupun penggunaan obat-obatan terlarang dan minuman keras.  Polisi juga tidak menemukan indikasi adanya keterlibatan sekolah karena perkelahian dilakukan jauh dari sekolah, yakni di Taman Palupuh, Kelurahan Tegal Gundil, Kecamatan Bogor Utara. 

"Keterangan saksi menyatakan keterlibatan sekolah belum diketahui, kalaupun ada pertandingan mungkin diadakan dekat sekolah. Tapi ini jauh dari sekolah," katanya. 

Dari keterangan saksi-saksi juga terungkap tradisi ‘bom-boman’ hanya terjadi antara kedua sekolah tersebut tidak melibatkan sekolah lainnya. Mereka yang terlibat perkelahian tersebut pun dipilih secara acak. Pemilihan peserta yang akan berkelahi dilakukan di lokasi kejadian. Tidak ada pemaksaan, mereka yang datang ke lapangan harus siap untuk ditunjuk. Pemilihan dilakukan secara acak. 

Aturan dalam tradisi ‘bom-boman’ tersebut jika tidak kuat atau menyerah dengan cara mengangkat tangan. Wasit akan menghentikan perkelahian. Saat perkelahian terjadi, korban diketahui tidak mengangkat tangannya sehingga korban tewas. 

"Dari pemeriksaan tidak ada pemaksaan. Kalau mereka tidak mau tidak perlu datang ke lokasi. Mereka tau ada kegiatan tersebut (bom-bomam) mereka datang ke lokasi, lalu ditunjuk 'kamu main yah'," kata Ulung.

Sebelum kasus mencuat, peristiwa tersebut telah diproses oleh Polsek Bogor Utara, tetapi tidak tuntas karena antara kedua sekolah telah melakukan perjanjian damai. Pihak orang tua juga tidak mau melakukan proses hukum karena menolak untuk autopsi. 

Kasus tersebut muncul lagi ke permukaan setelah 18 bulan karena curhatan ibu korban melalui media sosial yang ditujukan kepada Presiden Joko Widodo belum lama ini.  Kasus tersebut kembali dibuka, polisi melakukan autopsi atas izin orang tua korban dengan membongkar makam korban pada Selasa (19/9). 

Hasil autopsi menunjukan ada kekerasan benda tumpul di pelipis kiri 1 cmx2 mmx2 mm, robek pada organ hati 4 cm x0,5 mm sehingga terjadi pendarahan di dalam rongga perut. Hal tersebut menjadi penyebab hilangnya nyawa korban. 

Polisi juga melakukan rekonstruksi untuk mencocokan keterangan BAP dengan fakta-fakta di lapangan. Tercatat ada 14 adegan yang diperankan oleh empat tersangka anak. Satu tersangka anak atas nama FR masih dalam pencarian. 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement