Rabu 13 Oct 2010 01:31 WIB

Mendiknas: Baru 193 Sekolah Terapkan Pendidikan Berbasis Karakter

Rep: Esthi Maharani / Red: Endro Yuwanto
Guru SD sedang mengajar. Peminat Pendidikan Guru Sekolah Dasar (SD) saat ini masih tinggi/ilustrasi.
Guru SD sedang mengajar. Peminat Pendidikan Guru Sekolah Dasar (SD) saat ini masih tinggi/ilustrasi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Pendidikan bermutu berbasis karakter masih sedikit di Indonesia. Menteri Pendidikan Indonesia (Mendiknas), M Nuh mengatakan, baru 193 sekolah yang menerapkan pola tersebut.

''Padahal, untuk membangun sekolah seperti itu, tidak membutuhkan persyaratan yang sulit,'' ujar Mendiknas dalam Seminar Nasional Pra-Muktamar V Ikatan Cendikiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) dengan tema Membangun Karakter Bangsa melalui Pendidikan Bermutu Berbasis Karakter. Digelar pada Selasa, (12/10) di Hotel Borobudur, Jakarta.

Pertama, kata Mendiknas, tidak perlu fasilitas mewah. Kedua, guru yang berkualitas. Ketiga, kepemimpinan dari kepala sekolah. Maka, lanjutnya, mulai tahun lalu, Kemdiknas menyiapkan pelatihan kepala sekolah dan pengawas. Dalam pelatihan tersebut, ada tiga domain dasar yang disiapkan yaitu kepemimpinan (leadership), kemampuan manajemen, dan kemuliaan pribadi, termasuk di dalamnya kontrak kinerja. “Diharapkan pola pendidikan berbasis karakter ini bisa diterapkan pada tahun ajaran 2011-2012,” katanya.

Menurut Mendiknas, pendidikan berbasis karakter itu berupaya mengembalikan karakter bangsa apa adanya. “Nilai esensial karakter yang harus diterapkan pada siswa antara lain jujur, cerdas, peduli, dan tangguh,” ujarnya.

Hal yang perlu difokuskan, lanjut Mendiknas, adalah akses dan mutu pendidikan. Sayangnya, untuk faktor akses pendidikan saja, Indonesia punya pekerjaan rumah yang belum terselesaikan.

Mendiknas mengatakan, dari 31 juta anak tingkat sekolah dasar (SD), ada 1,7 persen mengalami drop out (DO). Artinya, setiap tahun ada sekitar lebih dari 500 orang siswa usia SD yang gagal melanjutkan pendidikan dasarnya. Persentase itu meningkat pada anak yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi tetapi lulus SD. ''Jumlahnya mencapai 19 persen,'' katanya. Di tingkat SMP pun, persentase siswa yang di DO mencapai sekitar 2 persen.

Faktor ekonomi menjadi alasan terkuat dengan persentase mencapai 70 persen. Padahal, pendidikan sembilan tahun adalah wajib. “Ini tidak boleh dibiarkan dan pendidikan merupakan hak warga negara,” ujar Mendiknas. Kondisi serupa juga terjadi pada jenjang pendidikan dari SMA ke perguruan tinggi (PT). Menurutnya, ada 59 persen siswa SMA tidak melanjutkan studi ke PT.

Mendiknas menambahkan, saat ini sudah ada peraturan pemerintah (PP) No 66/2010 yang mengharuskan perguruan tinggi negeri (PTN) menyediakan 20 persen dari siswa miskin dalam setiap penerimaan mahasiswa baru. “PTN harus pula mengembangkan keramahan sosial,” katanya. Hal ini berarti PTN harus pro terhadap siswa yang punya kemampuan akademis yang bagus tetapi terbentur pada permasalahan ekonomi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement