Selasa 12 Jul 2011 19:18 WIB

Ketua DPR: Otonomi Daerah Picu Politisasi Pendidikan

Ketua DPR Marzuki Alie memberikan sambutan di acara Wisuda dan HUT ke-44 Pondok Pesantren Al-Ittifaqiyah Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Selasa (28/6).
Foto: Ronny/Setjen DPR
Ketua DPR Marzuki Alie memberikan sambutan di acara Wisuda dan HUT ke-44 Pondok Pesantren Al-Ittifaqiyah Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Selasa (28/6).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Marzuki Alie, menilai, penerapan otonomi daerah memicu politisasi sektor pendidikan yang mengakibatkan pendidikan di daerah sulit berkembang. "Sebenarnya ada dua aspek otonomi daerah yang memengaruhi sektor pendidikan yakni aspek politis, seringnya tenaga guru menjadi korban politisasi elite di daerah, dan aspek teknis," katanya di Semarang, Selasa (12/7).

Hal itu diungkapkannya usai seminar bertema 'Mampukah Otonomi Pendidikan Mendorong Peningkatan Daya Saing Bangsa Pada Era Globalisasi' yang diprakarsai Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) PGRI Semarang. Ia mengemukakan, politisasi pendidikan di daerah memang tidak bisa terhindarkan dalam penerapan otonomi daerah, terutama saat pemilihan kepala daerah (pilkada) yang menjadikan pendidikan sebagai objek politik di daerah.

Ia mencontohkan, penetapan kepala Dinas Pendidikan oleh kepala daerah yang seringkali tanpa didasarkan kapabilitas seseorang, namun hanya karena memiliki kedekatan secara politik dengan elite di daerah. "Akibatnya, pendidikan dikelola secara sembarangan karena orang yang berada di pucuk pimpinan bukan orang yang memahami tugasnya, penerimaan guru dengan kolusi dianggap umum, dan akreditasinya tidak jelas," katanya.

Secara teknis, katanya, dampak otonomi daerah juga menjadikan sektor pendidikan tak berkembang, sebab pemerintah daerah bisa saja tidak memenuhi tanggung jawab dalam pengalokasian dana pendidikan secara tepat. "Anggaran pendidikan 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) akhirnya belum dapat diimplementasikan secara seimbang dan tepat di daerah," kata Marzuki yang juga Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat itu.

Karena itu, katanya, muncul gagasan sentralisasi pendidikan di tengah kebijakan otonomi daerah sekarang ini, atau setidaknya sentralisasi atas tenaga pengajar untuk menghindari politisasi pendidikan di daerah. "Namun, kalau pendidikan disentralisasi ke pusat, maka kemungkinan terjadi politisasi dalam tataran lebih tinggi bisa saja terjadi. Ini juga nantinya tidak baik bagi perkembangan sektor pendidikan," katanya.

Ia mengemukakan, solusi terbaik dalam mencegah politisasi dalam sektor pendidikan di daerah sebenarnya tidak perlu dengan sentralisasi pendidikan ke pusat, karena pendidikan cukup ditangani di tingkat daerah. "Akan tetapi, kepala daerah jangan dipilih secara langsung, namun dipilih melalui DPRD. Kalau otonomi pendidikan diiringi dengan sistem pilkada langsung, sama saja, politisasi tetap akan terjadi," katanya.

Pakar pendidikan H.A.R. Tilaar yang juga menjadi pembicara seminar itu mengatakan, manajemen pendidikan nasional saat ini cenderung mengikuti paham neoliberalisme yang jelas bertentangan dengan UUD 1945. "Manajemen pendidikan nasional perlu membuka diri atas perubahan-perubahan global, namun harus tetap berpijak pada kepentingan rakyat, yakni meningkatkan taraf hidup dan mencerdaskan kehidupannya," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement