Sabtu 26 Jul 2014 17:18 WIB

Hasil Pilpres Bisa Berubah, Ini Syaratnya...

Tim kuasa hukum Calon Presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa mendaftarkan gugatan sengketa pemilu presiden di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (25/7) malam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Sinergi Masyarakat untuk Demokrasi Indonesia (SIGMA), Said Salahuddin, menjelaskan pelanggaran-pelanggaran pemilu yang bisa diajukan ke MK ada yang bersifat kualitatif dan bersifat kuantitatif. Pelanggaran kualitatif itu seperti persoalan-persoalan yang tidak secara langsung mempengaruhi hasil seperti pemilih yang tidak memenuhi syarat atau pemilih yang memilih tidak berdasarkan domisilinya. 

 

Sedangkan pelanggaran kuantitatif, bicara pada persoalan angka-angka seperti penggelembungan suara atau pengurangan suara. Menurutnya, jika ada bukti pelanggaran bersifat kuantitatif, maka MK tidak bisa memeriksanya secara random dan harus diperiksa satu persatu. Berbeda dengan bukti bersifat kualitatif yang bisa diperiksa secara random.

 

"Kalau yang sifatnya kuantitatif itu angka dan tidak bisa hanya sampel atau random. Yang ingin dikejar kan perolehan suara. Misalnya terjadi pengurangan suara 5 juta. Dari 5 juta itu hanya dipilih 2 juta saja, yang 3 juta tidak dihitung, ya enggak bisa begitu. Kuantitatif harus benar dihitung. Apa kesalahan penghitungan, penggelembungan suara, atau mengurangi suara pasangan lain. Harus semua dibuktikan dan tidak bisa random," kata Said dalam keterangan pers yang diterima ROL, Sabtu (26/7).

 

 

Lebih lanjut, Said mengungkapkan pernah ada putusan MK yang paling ekstrem saat menangani sengketa pemilu yakni mengganti pemenang pemilu. Hal itu terjadi pada kasus Pilkada Kotawaringin Barat yang juga diikuti dua pasangan calon, dimana pemohon mampu membuktikan bahwa pemenang Pilkada versi KPUD terbukti melakukan kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.

 

"Pasangan calon hanya ada dua. Apabila pemenang pemilu terbukti melakukan kecurangan secara terstruktur, sistematis dan masif, maka tidak perlu pemilu ulang karena satu pasangan calon sudah cacat karena terbukti melakukan pelanggaran. MK dapat saja mengganti pemenang pemilu," paparnya.

 

Said mengatakan hal yang mungkin paling masuk akal adalah pemungutan suara ulang. Itu pun tidak 100 persen TPS. MK bisa mengabulkan pemungutan suara ulang di seluruh TPS yang dipermasalahkan atau hanya di sebagian TPS yang dipermasalahkan. Dikatakannya, pemungutan suara ulang bisa terjadi jika bukti yang diajukan menunjukkan terjadi kekeliruan dalam proses pemungutan suara. Misalnya seperti laporan dari kubu Prabowo-Hatta, mengenai kecurangan yang terjadi di TPS yang ada di Papua.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement