Kamis 21 Aug 2014 19:08 WIB

Ini Penjelasan Hakim MK Soal Sistem Noken di Papua

Rep: c87/ Red: Mansyur Faqih
Ketua MK Hamdan Zoelva memimpin sidang pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2014 yang diajukan pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (21/8). majelis hakim MK membacakan sekitar 300 lembar
Foto: Agung Supriyanto/Republika
Ketua MK Hamdan Zoelva memimpin sidang pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum 2014 yang diajukan pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Hatta Rajasa di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (21/8). majelis hakim MK membacakan sekitar 300 lembar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Aswanto memaparkan sejumlah kasus pemungutan suara dengan menggunakan sistem noken atau ikat di kabupaten pegunungan di Papua.

Dalam sistem kebudayaan masyarakat Papua, kata Aswanto, pengambilan keputusan dilakukan dengan sistem noken atau ikat. Di dalam tradisi masyarakat Papua untuk mengambil keputusan biasanya dalam rapat atau musyawarah yang melibatkan masyarakat keseluruhan atau orang-orang tertentu. 

Mekanisme noken atau ikat dapat berdasarkan musyawarah bersama atau otoritas kepala suku yang merupakan representasi keputusan masyarakat.

"Kenyataan empiris pemilu di Papua dengan menggunakan sistem noken atau ikat dimulai pada pemilu 1971 di mana pemilu legislatif, pemilu kepala daerah atau pilpres dilakukan melalui sistem noken," terang Aswanto dalam sidang pembacaan putusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) pilpres 2014, di ruang sidang pleno, Kamis (21/8).

MK mempertimbangkan putusan MK Nomor 47/81/PHPU.A/VII/2009. MK berpandangan, pemilu di Yahukimo tidak diselenggarakan sebagaimana mestinya menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Karena tidak dengan cara mencoblos atau mencontreng, melainkan kesepakatan warga atau aklamasi. MK menimbang dapat memahami dan menghargai nilai budaya di Papua sehingga MK menerima cara pemilihan kolektif dengan aklamasi. 

Karena kalau dipaksakan pemilu sesuai peraturan undang-undang, dikhawatirkan akan timbul konflik masyarakat setempat. Penerimaan realistis ini harus dilaksanakan dengan baik oleh KPU kabupaten. 

"Karena mekanisme pemungutan suara didasarkan pada hukum adat setempat dan tidak diatur dalam undang-undang pemilu. Tapi konstitusi memberikan pengakuan terhadap perlindungan masyarakat adat dan hak-hak konstutisonal," jelas Aswanto. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement