Rabu 13 Aug 2014 15:52 WIB

Ketua KPU Dogiyai Sebut Bupati Mengarahkan Suara

Rep: Irfan Fitrat/ Red: Mansyur Faqih
Massa pendukung pasangan Capres nomor urut satu Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa melakukan aksi di halaman Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (12/8).
Foto: Agung Supriyanto/Republika
Massa pendukung pasangan Capres nomor urut satu Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa melakukan aksi di halaman Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Selasa (12/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua KPU Kabupaten Dogiyai, Papua, Didi Musdokomo menyebut ada pernyataan bupati setempat untuk mengarahkan suara sebelum proses rekapitulasi di tingkat kabupaten. 

Ia menjelaskan itu saat menjadi saksi dalam sidang lanjutan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden/wapres di Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (13/8).

Didi mengatakan, proses rekapitulasi penghitungan suara di tingkat Kabupaten Dogiyai dilakukan pada 17 Juli 2014 mulai pukul 15.00 WIT. Sebelum rapat pleno dimulai, ia menyebut memberikan kesempatan pada bupati setempat memberikan pemahaman politik pada masyarakat. 

"Bupati sebagai pembina politik, saya memberikan kesempatan sejak jam 11 sampai 12," kata dia di Ruang Sidang Pleno MK.

Saat pemberian pemahaman itu, menurut Didi, ada ucapan dari bupati yang membuat masyarakat marah. Bupati meminta mengarahkan suara pada pasangan nomor urut satu. 

"Bupati memaksa agar supaya kepada rakyat Dogiyai di aula pemerintah, apabila suara dikasih kepada Prabowo, ada uang. Kalau suara tidak dikasih kepada Prabowo tidak ada uang. Akhirnya rakyat marah," kata dia.

Hakim konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi mempertanyakan sikap Ketua KPU yang memberikan kesempatan pada bupati memberikan pemahamanan. Menurut Didi, itu merupakan permintaan bupati langsung. 

Namun pada keterangan berikutnya, Didi mengatakan, meminta agar bupati memberikan penjelasan terkait masalah dana logistik atau dana operasional yang belum cair. 

"Pada saat itu PPD tidak mau kasih (hasil) rekapan, sehingga saya meminta asisten II datangkan bupati untuk memberikan pemahaman pada masyarakat," kata dia.

Akibat perkataan bupati, Didi mengatakan, masyarakat yang ada di dalam keluar ruangan karena marah. Ia pun menyebut masyarakat yang ada di luar ikut tersulut emosinya. 

"Ngamuknya berontak kiri-kanan. Ini suara rakyat Dogiyai. Kami sudah kasih, kami tidak membutuhkan uang," kata Didi, menggambarkan suasana saat itu.

Saat masyarakat marah itu, menurut Didi, bupati beserta asistennya pergi dari aula entah ke mana. Sementara proses rekapitulasi belum dapat berjalan karena masyarakat membawa keluar hasil rekapan.

Namun, ia mengatakan, setelah ada pendeta yang menenangkan masyarakat, proses rekapitulasi 10 distrik dapat berjalan. "Apa pun kita tidak utamakan uang, bawa rekap. Dia berteriak di depan aula dan semua rakyat kembali memberikan (hasil rekap)," ujar dia.

Menurut Didi, saat itu PPD dan PPS meminta agar pembacaan hasil rekapitulasi berlangsung di luar aula. Bukan atas permintaan oknum tertentu. 

Didi mengatakan, membantah keterangan saksi dari pasangan Prabowo-Hatta yang menyebut pemindahan agenda rekap itu karena permintaan seseorang. Didi juga sekaligus membantah saksi yang menyebut bupati diusir keluar.

Selama proses rekapitulasi, menurut Didi, tidak ada keberatan yang muncul. Namun, memang ada sebelumnya dari Panwas Kabupaten Dogiyai yang meminta agar dua distrik dilakukan pemilihan ulang. 

Namun, ia mengatakan, KPU Kab Dogiyai tidak bersedia karena ada masalah terkait logistik. Karena penyeberan logistik pun tidak mudah karena masalah geografis. "Tidak bisa diulang karena kesediaan logistik hanya seribu. Sementara saya membutuhkan adalah sebesar 18 ribuan," kata dia.

Hakim Aswanto kemudian meminta penjelasan terkait dengan hasil di Distrik Mapia Barat dan Mapia Tengah. Perolehan suara di dua distrik itu didiskualifikasi pada saat rekapitulasi. 

Pasangan Prabowo-Hatta tidak mendapat suara di dua distrik tersebut. Sementara Jokowi-JK mendapat 6.828 suara di Mapia Barat dan 11.194 suara di Mapia Tengah. Hakim menanyakan mengenai sikap dari saksi pasangan nomor urut dua terkait dengan adanya langkah diskualifikasi.

Didi secara pribadi mengaku tidak mengetahuinya. Karena, diskualifikasi hasil itu sudah terjadi saat rekapitulasi tingkat provinsi. Menurut dia, Bawaslu Provinsi yang sudah berkonsultasi dengan Bawaslu Pusat meminta diskualifikasi itu. 

Hanya saja, ia mengatakan, rakyat di dua distrik itu sampai saat ini meminta penjelasan. "Mereka meminta agar supaya Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Pusat, karena masyarakat merasa sudah memberikan suara," kata dia.

Hakim Anwar Usman meminta kembali meminta penjelasan mengenai keterangan Didi akan arahan yang dilakukan bupati. Anwar kembali mengulang keterangan saksi yang menyebut arahan itu terjadi sebelum proses rekapitulasi, tetapi sesudah pelaksanaan pemungutan suara. 

Ia menanyakan apakah arahan bupati itu bisa mengubah suara. "Itu tidak punya hak kami harus mengubah. Tidak diperbolehkan," jawab Didi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement