Ahad 13 Jul 2014 09:27 WIB

Kubu Jokowi Dinilai Pandai Mengklaim Menang

Rep: Erdy Nasrul/ Red: Julkifli Marbun
Sejumlah relawan dan anggota tim pemenangan menyaksikkan hasil quick count Pemilu Presiden 2014 melalui layar lebar di Posko Pemenangan Jokowi-JK, Jl Cemara 19, Menteng, Jakarta, Rabu (9/7).
Foto: antara
Sejumlah relawan dan anggota tim pemenangan menyaksikkan hasil quick count Pemilu Presiden 2014 melalui layar lebar di Posko Pemenangan Jokowi-JK, Jl Cemara 19, Menteng, Jakarta, Rabu (9/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kubu Prabowo - Hatta menilai timses Jokowi - JK pandai mengklaim menang. Hal itu sudah tidak aneh lagi, karena sejak dulu, mereka memang pandai melakukan itu. Sayangnya, klaim tersebut tidak sesuai dengan kenyataan.

Ketum Barisan Muda Penegak Amanat Nasional (BM PAN), Yandri Susanto menyebutkan sejumlah klaim yang pernah diutarakan kubu Jokowi, yaitu PDIP.

"Setelah kita kumpulkan beberapa fakta, ternyata memang sudah jadi prosedur standard selama ini," imbuhnya, kepada Republika, Ahad (13/7). Berikut adalah sejumlah klaim kemenangan yang ternyata adalah kekalahan.

Pertama adalah klaim kemenangan Megawati pada pilpres 2004. Ketika itu Mega berpasangan dengan KH Hasyim Muzadi. Ternyata hasilnya, SBY yang menang.

Saat pilgub Jabar beberapa waktu lalu, anggota timses Jokowi saat ini yang ketika itu maju sebagai cagub Jabar, Rieke Dyah Pitaloka, mengklaim menangi pilkada. Ternyata, yang menang adalah Aher. Hal sama juga dilakukan Effendi Simbolon dalam pilkada Sumut

Wasekjen PAN, Kuntum Khairu Basa, memaparkan klaim kemenangan kubu Jokowi-JK tidak benar. Klaim itu dipublikasikan agar masyarakat terlanjur meyakini Jokowi dan JK yang menang. "Padahal KPU belum menentukan," imbuhnya.

Strategi ini adalah bentuk perang psikologis. Hal ini adalah bentuk provokasi massa. Masyarakat dibuat terlanjur percaya. Jika nantinya hasil rekap KPU tidak sama maka akan diprotes masyarakat.

Ditambah lagi dengan ucapan Burhanudin Muhtadi yang mengklaim hitung cepat lembaga survei yang mendukung Jokowi - JK menang sudah benar. Dan jika KPU dalam rekapitulasinya tidak sama dengan hasil hitung cepat itu, maka dipertanyakan. "Ini nantinya tidak baik bagi proses demokrasi di Indonesia," imbuhnya.

Bentuk provokasi seperti itu menurutnya tidak akan digubris masyarakat. Saat ini, semua elemen bangsa menyadari harus menunggu hasil akhir KPU. "Karena hasil KPU adalah rujukan, bukan hitung cepat," imbuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement