Kamis 07 Aug 2014 18:33 WIB

4 Alasan Permohonan Prabowo-Hatta Dinilai Kabur

Rep: Ira Sasmita/ Red: Mansyur Faqih
Tim kuasa hukum pasangan peserta Pilpres 2014-2019 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (kanan) menyerahkan berkas revisi gugatan sengketa Pilpres di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (7/8).
Foto: Aditya Pradana Putra/Republika
Tim kuasa hukum pasangan peserta Pilpres 2014-2019 Prabowo Subianto-Hatta Rajasa (kanan) menyerahkan berkas revisi gugatan sengketa Pilpres di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis (7/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kubu pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa telah membacakan pokok pemohonanan gugatan hasil pilpres 2014 di sidang perdana Mahkamah Konstitusi (MK). Tuntutan dalam permohonan tersebut dinilai masih kabur dan tidak dilengkapi argumen yang cukup kuat.

Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Veri Junaedi mengatakan, setidaknya terdapat empat petitum dalam permohonan Prabowo-Hatta. 

Pertama, menyatakan perolehan suara yang benar menurut pemohon. Yaitu Prabowo-Hatta sebesar 50,25 persen, sementara Jokowi-JK dengan perolehan 49,74 persen.

"Petitum ini tidak didukung dengan alasan permohonan (posita) yang cukup kuat dan kabur (obscuur libel)," kata Veri dalam diskusi di Jakarta, Kamis (7/8).

Pemohon, menurut Veri, hanya menyebutkan suara yang diperoleh Jokowi-JK sebagai pihak terkait diperoleh melalui cara melawan hukum diserta penyalahgunaan kewenangan oleh termohon (KPU). 

Pemohon tidak menyebutkan bentuk kecurangan yang dapat mengubah hasil pemilu. Apakah berupa perubahan hasil perhitungan, tidak menjalankan rekomendasi Bawaslu, atau alasan lainnya.

Dalam argumentasinya, pemohon menemukan penggelembungan hingga 1,5 juta suara untuk pasangan calon nomor urut dua. Serta penggembosan suara untuk Prabowo-Hatta mencapai 1,2 juta suara. 

Tetapi argumentasi tersebut tidak menjelaskan modus penggelembungan dan penggembosan suara.

Dalam tuntutan kedua, Veri melanjutkan, pemohon menyatakan batas dan suara tidak sah di ribuan TPS di beberapa daerah. Yakni di Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Papua, Papua Barat, Bali, Sumatra Utara, dan Maluku Utara. 

Pada tuntutan ketiga, pemohon meminta pemungutan suara ulang (PSU) di TPS yang disebutkan dalam tuntutan kedua. Kemudian penghitungan suara ulang di 287 TPS di Sumatra Utara dan dua TPS di Maluku Utara.

"Kami melihat petitum yang satu dengan yang lainnya saling melemahkan," ungkapnya.

Dalam permohonan, kata Veri, pemohon juga menuliskan daerah yang berbeda antara yang didalilkan dengan yang dituntut. Bahkan untuk 10 provinsi, hanya disebutkan tanpa argumentasi sama sekali.

Dalil yang dikemukakan terhadap dugaan pelanggaran di setiap daerah, menurutnya, juga tidak dijelaskan secara spesifik dan jelas. Pemohon dinilai kurang cermat dalam membangun korelasi antara suatu kecurangan tertentu dengan pihak yang diuntungkan atas perolehan suara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement