Rabu 16 Jul 2014 12:28 WIB

Jelang 22 Juli, Media Diminta Terapkan Jurnalisme Damai

Jamaah berdoa sambil menangis saat mengikuti Doa dan Istiqasah di Monumen Nasional, Jakarta, Ahad (9/3). Kegiatan tersebut bertema
Foto: Tahta Aidilla/Republika
Jamaah berdoa sambil menangis saat mengikuti Doa dan Istiqasah di Monumen Nasional, Jakarta, Ahad (9/3). Kegiatan tersebut bertema "Munajat Bangsa Untuk Pemilu Damai 2014".

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mendekati pengumuman pemenang pilpres, media diminta menjalankan fungsi jurnalisme damai. Ini mengingat kondisi politik saat ini sudah cukup memanas dengan kompetisi antarkandidat.

"Jangan memanasi situasi, tapi beri solusi. Sebaiknya buat berita dengan pertimbangan 'jika-maka'. Jika saya beritakan ini maka dampaknya seperti ini," kata pengamat media UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Iswandi Syahputra, Rabu (16/7).

Penulis buku Jurnalisme Damai tersebut mengingatkan, Yugoslavia tutup usia pada usia 88 tahun. Demikian juga Uni Soviet yang besar dan kokoh yang bubar pada usia 74 tahun karena konflik. 

"Mengerikan sekali jika Indonesia bubar menjelang usia 69 tahun akibat perang saudara dan itu terjadi karena media ikut memanasi situasi," paparnya.

Menurutnya, sejak awal media telah mengalami polarisasi berdasarkan dukungannya terhadap capres-cawapres tertentu. Malah, hampir seluruh media sudah berpihak dalam pilpres ini. 

"Mayoritas dari media mainstream terlihat dengan jelas berpihak pada pasangan nomor dua. Berkolaborasi dengan lembaga survei, tiap hari isi beritanya quick count melulu. Ini pasti ada tujuannya," ujar penulis buku Rezim Media tersebut.

Ia menilai, keberpihakan tersebut justru bisa menjadi ancaman bagi demokrasi. Mengingat media merupakan salah satu pilar demokrasi. 

"Bagaimana media dapat ciptakan iklim demokratis jika dalam pilpres sudah tidak netral dan berpihak. Demikian juga dengan quick count, bagaimana mau quick count mau benar kalau  dibayar pasangan tertentu. Ini anomali demokrasi," jelasnya.

Menurutnya, media memiliki kekuatan untuk membentuk opini publik. Di tingkat bawah, berita media bisa dipegang sebagai nilai baik dan buruk oleh masyarakat. 

"Masyarakat jadi bisa terpicu konflik jika media ikut-ikutan mendukung pasangan tertentu. Media membuka jalan bagi terciptanya perang saudara," ungkap mantan komisioner KPI tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement