Jumat 11 Jul 2014 02:52 WIB
Berpatokan pada 'Quick Count'

Hanya dengan Hitung Cepat, Mengklaim Diri Sebagai 'Pemenang Pilpres' Dinilai Tidak Etis

 Prabowo-Hatta dan Jokowi-Hatta menyanyikan lagu Indonesia Raya jelang debat capres putaran final di Jakarta, Sabtu (5/7) malam WIB.
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Prabowo-Hatta dan Jokowi-Hatta menyanyikan lagu Indonesia Raya jelang debat capres putaran final di Jakarta, Sabtu (5/7) malam WIB.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakkir, mengatakan hasil hitung cepat (quick count) tidak boleh dijadikan dasar untuk menyatakan sebagai pemenang Pilpres karena tidak ada kedudukan hukumnya dan tidak etis.

"Kedudukan hukum hasil quick count oleh lembaga survei tidak ada apa-apanya. Maka tidak boleh dijadikan dasar untuk menyatakan sebagai pemenang Pilpres," ujar Mudzakkir dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis.

Menurut dia, kalau ada yang mengklaim sebagai pemenang dan bertindak seolah-olah sebagai pemenang, itu tidak etis dan tidak tahu kedudukan hukum hasil quick count.

"KPU sebaiknya mengaturnya dalam peraturan KPU tentang hasil quick count," kata dia.

Seusai Pilpres, Rabu (9/7), Ketua PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri langsung menyampaikan kepada publik, termasuk melalui televisi, bahwa berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, pasangan Jokowi-JK memenangi pemilihan presiden itu.

Hal itu kemudian disikapi pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa pada malam harinya juga menyatakan berdasarkan hasil hitung cepat sejumlah lembaga survei, dirinya dinyatakan lebih unggul dalam perolehan suara.

Mudzakkir mengutarakan lembaga survei perlu menjelaskan metode dan margin eror atau tingkat akurasi hasilnya karena reputasi akademik sebagai lembaga ilmiah menjadi taruhannya.

"Lembaga survei wajib menjelaskan kepada user-nya dan risiko yang terjadi jika dipergunakan," kata dia.

Ia menjelaskan jika tingkat akurasi rendah, berarti tingkat kepercayaan hasil juga rendah. Hasil lembaga survei untuk konsumsi publik.

Karena itu, KPU harus melakukan evaluasi terhadap lembaga survei yang tidak kredibel. Kalau lembaga survei tersebut tidak kredibel sebaiknya tidak diizinkan melakukan hitung cepat Pemilu agar masyarakat tidak memperoleh informasi yang sesat.

Dalam Pemilu Presiden 9 Juli 2014 diikuti dua pasangan capres dan cawapres, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement