Kamis 10 Jul 2014 20:56 WIB

Ini Beberapa Keanehan Quick Count yang Menangkan Jokowi

Direktur Eksekutif Cyrus Network, Hasan Nasbi menjadi pembicara lembaga penyelenggara Quick Count Pilpres 2014 di Hotel Century, Jakarta, Kamis (10/7).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Direktur Eksekutif Cyrus Network, Hasan Nasbi menjadi pembicara lembaga penyelenggara Quick Count Pilpres 2014 di Hotel Century, Jakarta, Kamis (10/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti opini publik, Agung Prihatna, mengungkapkan beberapa fenomena keanehan quick count (hitung cepat) yang menguntungkan pasangan Jokowi-JK. Dia membeberkan kronologi yang perlu mendapat sorotan.

Pertama, pada awal Juli 2014, ada pernyataan dari pihak capres nomor urut 2 bahwa ada indikasi kecurangan. Kedua, pada masa tenang ada tiga lembaga survei terkemuka, yaitu Charta Politica, SMRC, Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang pimpinannya secara terbuka berafiliasi ke capres nomor urut 2, dengan mengumumkan Jokowi-JK unggul tiga persen dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Ketiga, pada hari pemilihan, kelompok lembaga survei tersebut, seperti CSIS-Cyrus Network, mengeluarkan hasil exit poll yang menyatakan capres nomor urut 2 unggul tiga persen dari capres nomor urut 1. Dia menyatakan, hasil quick count lembaga survei yang berafiliasi ke pasangan Jokowi-JK, seperti CSIS-Cyrus, SMRC, Litbang Kompas, dan RRI sama-sama mengunggulkan dengan selisih 3 persen.

"Ini juga pertama kalinya ada pihak yang secara sepihak mengklaim kemenangan berdasarkan hasil quick count yang data masuk baru mencapai 70 persen. Yang bikin aneh pula, sekitar jam 15.00 WIB, data quick count sebesar 70 persen di luar logika," kata mantan peneliti LP3ES itu kepada wartawan, Kamis (10/7).

Menurut Agung, bukankah untuk menginformasikan sampel dari daerah pelosok Papua, Medan, Sumatra, dan pulau lainnya butuh waktu sekitar satu hingga tiga jam untuk melaporkan melalui pesan singkat (SMS) di area on spot (daerah yang terdapat sinyal). Hal itu mengingat tidak semua daerah yang kita tentukan sebagai zona sampling terdapat sinyal operator telepon selular.

"Katakanlah benar data masuk 70 persen selang dua jam setelah TPS ditutup pukul 13.00 WIB. Maka, kemungkinannya adalah sampel ditarik semua ke daerah perkotaan, sehingga sebenarnya nihil sampling dari desa atau wilayah pelosok," kata perintis quick count di Pemilu 1997 itu.

Agung menyatakan, dalam berbagai momen pilkada biasanya yang terjadi adalah pengakuan dari pihak lain terhadap keunggulan pasangan lainnya. "Tidak pernah salah satu pihak melakukan klaim kemenangan berdasarkan hasil quick count," katanya.

Keanehan lain juga didapatkannya ketika melihat perkembangan beberapa hari sebelum Pilpres 9 Juli kemarin. Itu setelah Indobarometer, LSI, dan Charta Politica pada lima hari sebelum pilpres menyatakan bahwa ada ‘lampu kuning’ bagi Jokowi jika keadaan terus begini karena tren terus menurun. Adapun, tren Prabowo terus naik. "Pada saat itu, selisih Jokowi dengan Prabowo semakin dekat tinggal tiga persen."

Menjadi aneh, sambung dia, karena tiga hari setelah pernyataan tersebut, para lembaga survei yang berafiliasi dengan Jokowi-JK mengeluarkan pernyataan bahwa terjadi rebound elektabilitas. Artinya, dalam waktu tiga hari, mereka membuat pengakuan terjadi perubahan tren. "Padahal dalam logika survey trend itu tidak mungkin berbalik trennya hanya dalam waktu dua sampai hari," katanya.

Catatan berikutnya, lanjut Agung, pihak Jokowi pada sepekan sebelum pilpres sudah menyatakan kemenangan mereka akan sulit jika pihak lawan melakukan kecurangan. "Artinya, mereka melakukan prakondisi bahwa di atas kertas mereka bisa kalah. Bahkan, cawapres JK pernah menyatakan, pasangannya hanya akan kalah jika dicurangi," katanya.

Dia mengingatkan, gejala-gejala tersebut patut dicurigai sebagai upaya terencana untuk memenangkan pasangan yang diusung PDIP, PKB, Nasdem, Hanura, dan PKPI itu dengan melakukan manipulasi survei sejumlah lembaga yang selama ini pro-Jokowi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement