Kamis 15 May 2014 10:45 WIB

Jelang Pilpres, Pelanggaran Pemilu Arus Bawah Harus Diantisipasi

Mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Indonesia (BEM SI) beraksi damai Rapor Merah KPU di depan Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Kamis (8/5).( Republika/Aditya Pradana Putra)
Mahasiswa dari Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Indonesia (BEM SI) beraksi damai Rapor Merah KPU di depan Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Kamis (8/5).( Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, AMBON -- Pengamat politik Universitas Pattimura (Unpatti) Amir Kotarumalos mengatakan, pelanggaran pemilu yang sering terjadi di arus bawah harus diantisipasi. Apalagi, menyambut pilpres 2014 pada 9 Juli mendatang.

"Pelanggaran pemilu paling banyak terjadi pada level bawah front pelaksana garda terdepan. Orang jual beli undangan dan bagaimana menkonstruksi keadaan untuk itu, distribusi massa untuk mencoblos di tempat-tempat tertentu, serangan fajar. Semua itu sudah harus diantisipasi dari sekarang," kata Amir di Ambon, Kamis (15/5).

Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unpatti itu menambahkan, pelangaran tersebut tidak mendidik masyarakat untuk menyalurkan aspirasi dan suara mereka dengan benar. Sehingga menyebabkan turunnya demokrasi elektoral di Indonesia.

"Mata rantai ini kuat sekali, elite partai dan peserta pemilu bekerja sama dengan pelaksana bermain-main dalam lingkaran setan yang memunculkan fenomena dan peraturan prinsip dari kondisi yang menyebabkan turunnya demokrasi elektoral kita," ujarnya.

Menurut dia, terbukanya situs Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan bisa diakses dengan bebas telah memunculkan modus operandi baru dalam pelanggaran pemilu.

"Ada modus baru, undangan di-scan, kemudian situs KPU untuk daftar pemilih tetap dan pemilih tambahan yang terbuka lebar, dan bisa diakses memudahkan oknum-oknum tertentu mengunggah nama-nama orang di situs itu dan bisa dilihat di seluruh nusantara," ucapnya.

Dia mengatakan, oknum-oknum di tingkat aparatur KPU juga harus diantisipasi. Mereka yang telah terbukti melakukan pelanggaran sesuai dengan UU Nomor 15/2011 jangan hanya diberi sanksi administrasi. Namun harus diberhentikan.

Sebab kemungkinan akan mengulang tindakan yang sama di kemudian hari sehingga bisa merugikan negara. Serta menyebabkan semakin merosotnya kredibilitas dan keadilan demokrasi di Indonesia.

Amir mencontohkan, KPU Kota Tual yang dengan sengaja selama dua hari menyimpan peti suara di Hotel Natsepa dan membukanya kemudian merekonstruksi ulang perhitungan suara hasil Pileg 9 April 2014. Alasannya, untuk dilaporkan kepada KPU Provinsi Maluku.

"Pelanggaran yang dilakukan KPU Kota Tual sudah dua kali. Kalau cuma diberi teguran oleh KPU Provinsi, maka mereka juga turut bertanggung jawab terhadap pelanggaran berat yang sudah memenuhi unsur sistematis dan terstruktur pidana pemilu sesuai dengan UU Nomor 15/2011," katanya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement