Sabtu 19 Apr 2014 11:29 WIB

Internal PPP Bereaksi

Rep: Erdy Nasrul / Red: Muhammad Hafil
Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri), Ketua Umum PPP Suryadharma Ali (kanan) melakukan salam usai konfrensi pers di kantor DPP PPP, Jakarta, Jumat (18/4). PPP menyatakan berkoalisi dengan partai Gerindra dan siap mendukung pencapresa
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto (kiri), Ketua Umum PPP Suryadharma Ali (kanan) melakukan salam usai konfrensi pers di kantor DPP PPP, Jakarta, Jumat (18/4). PPP menyatakan berkoalisi dengan partai Gerindra dan siap mendukung pencapresa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana PPP untuk berkoalisi dengan Gerindra memunculkan reaksi di internal. Hal ini dapat mengancam konsistensi partai tersebut dalam menentukan langkah politiknya.

Koalisi dengan Gerindra dinilai sebagai bentuk pengabaian hasil Mukernas PPP yang diselenggarakan Februari lalu. Musyawarah tersebut menghasilkan keputusan enam nama yang laik jadi capres. Mereka adalah Jusuf Kalla, Joko Widodo (Jokowi), Din Syamsuddin, Khofifah Indar Parawansa, Ihsan Noor, dan Jimly Asshiddiqie.

Tidak ada nama Prabowo dalam daftar tersebut. Namun demikian, Ketum PPP, Suryadharma Ali, menyatakan hasil mukernas itu sifatnya bisa berubah dengan perkembangan politik. "Keputusan mukernas itu sudah tidak relevan lagi," ujarnya, di Jakarta, Sabtu (19/4).

SDA memberi istilah jalinan politik ini sebagai koalisi Gabah."Sekarang kita masih berdua. Koalisi Gabah, Garuda-Kabah," katanya. Dukungan tersebut disebut Suryadharma sebagai dukungan yang ikhlas tanpa syarat apapun. koalisi dibangun dengan dasar keikhlasan, tanpa adanya iming - iming memperoleh timbal balik kursi menteri, dan lainnya.

Waketum PPP, Emron Pangkapi, menilai dukungan ini tidak resmi. "Ini ilegal," jelasnya. PPP dianggapnya bukan perusahaaan pribadi, tapi ini alat perjuangan umat. Deklarasi dukungan ke Prabowo hanya sikap pribadi SDA. Yang jelas, DPP belum menentukan koalisi dengan partai manapun. Itu keputusan SDA dan kawan-kawan saja. Keputusan dukungan partai harus melalui mekanismme Mukernas yang akan dilakukan usai pengumuman hasil Pileg oleh KPU nanti. "Mudah-mudahan ini bukan sebagai dagelan politik," ucap Emron.

Dia menyampaikan hal itu di sela rapat dengan sejumlah elit PPP, seperti Sekjen PPP Romahurmuziy yang memimpin rapat, Waketum Suharso Manoarfa, Waketum Emron Pangkapi, Waketum Lukman Hakim Syaifuddin, Ketua Dewan Majelis Pakar DPP PPP Zarkasih Noor, dan lainnya. Rapat membahas persiapan Rapimnas serta evaluasi hasil Pileg.

Romahurmuziy dalam rapat tersebut menilai Ketum tidak bisa mengatakan sebagai mandataris Muktamar. "Justru rapat (hingga Sabtu dinihari) inilah mandataris muktamar yang resmi," tegasnya. Mereka yang hadir dalam rapat adalah elit PPP yang tidak datang pada deklarasi dukungan PPP ke capres Partai Gerindra Prabowo Subianto. Mereka mengklaim sebagai mandataris Muktamar PPP yang resmi.

Mereka ini menyatakan tidak diundang dan diberitahu mengenai acara deklarasi dukungan ke Prabowo pada Jumat sore (18/4) kemarin. Bahkan Romi baru tahu dari media massa bahwa ada acara deklarasi dukungan Suryadharma ke Prabowo. Romi terkejut dengan acara deklarasi dukungan itu.Sampai dengan penyelenggaraan acara yang dihadiri pengurus Gerindra, tidak satupun pengurus diundang dan atau diberi tahu. "Saya mengalami keterkejutan. Tidak satupun 50 pengurus harian DPP ini diberi tahu," tuturnya sambil menunjuk ke sekitar 25 orang pengurus yang hadir.

Dia menyatakan PPP belum menentukan koalisi dalam Pilpres. Mukernas II PPP di Bandung mengamanatkan agar penentuan koalisi dibahas dalam rapimnas yang digelar sebelum pelaksanaan Pilpres. Hasil mukernas ini harus dijadikan acuan dalam bertindak, karena menjadi keputusan bersama.

Romi memutuskan untuk memberikan peringatan pertama kepada SDA. Peringatan pertama kepada Suryadharma dilayangkan dengan maksud agar dirinya tidak menyimpang AD/ART PPP. Peringatan kepada Suryadharma akan dibahas lebih lanjut. Sanksi itu bertingkat-tingkat. Ada peringatan pertama, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap.

Langkah politik Suryadharma merapat ke Gerindra dengan capres Prabowo dinilai over acting. "ini menjadi bukti pelanggaran etika atau fatsun politik, mempertontonkan perilaku politik yang over acting dan menjatuhkan moral kader partai di semua tingkatan," imbuh Romi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement