Sabtu 05 Apr 2014 09:46 WIB

Konflik Politik di Aceh Karena Persaingan Tidak Sehat

Rep: Rusdy Nurdiansyah/ Red: Muhammad Hafil
  Dua personel polisi dari unit Gegana bersenjata lengkap menjaga kawasan kampanye Partai Aceh (PA) di lapangan Rancong, Muara Satu, Lhokseumawe, Aceh, Rabu (2/4).  (Antara/Rahmad)
Dua personel polisi dari unit Gegana bersenjata lengkap menjaga kawasan kampanye Partai Aceh (PA) di lapangan Rancong, Muara Satu, Lhokseumawe, Aceh, Rabu (2/4). (Antara/Rahmad)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Semakin mendekati pelaksanaan pemilu legislatih (Pileg) 2014 yang akan berlangsung pada 9 April mendatang, teror politik di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) semakin sering terjadi. Dua peristiwa terakhir dalam sebulan ini cukup menggambarkan telah terjadi persaingan yang tidak sehat diantara partai-partai terutama persaingan partai lokal Partai Nasional Aceh (PNA) dan Partai Aceh (PA).

Teror dan intimidasi dengan kekerasan terjadi saat seorang calon legislatif (caleg) Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Selatan, Faisal (40) dari Partai Nasional Aceh (PNA) tewas ditembak oleh orang tak dikenal pada (2/3). Peristiwa penembakan terjadi di Gunung Cot Mancang, Gampong Ladang Tuha, Kecamatan Meukek, Aceh Selatan. Penembakan ini dilakukan dengan menggunakan senjata laras panjang. Pelaku memberondong korban dengan 42 kali tembakan.

Lalu, kantor PA, Dewan Pimpinan Sagoe (DPS) Lueng Bata Banda Aceh, digranat orang tidak di kenal pada (11/3). Dan, peristiwa paling anyar yakni penembakan mobil caleg PA di Bireun yang menewaskan tiga orang terjadi pada (31/3). Sebelumnya, posko Partai NasDem diserang dua orang tak dikenal senjata laras panjang jenis M-16 dan A1 di jalan Line Exxon Mobil desa Kunyet Mule, Kecamatan Matangkuli, Kabupaten Aceh Utara, pada (16/1).

Mantan Pangdam Iskandar Muda Aceh, Supiadin Aries Saputra mengatakan, kekerasan pemilu di Aceh terjadi karena adanya persaingan politik antara partai lokal. ''Partai lokal di Aceh tidak siap mental bersaing dengan partai lain dan takut kalah, makanya mereka melakukan aksi teror,'' ujar Supiadin yang disampaikan ke Republika, Sabtu (5/4).

Supiadin, menjelaskan persaingan politik di Aceh sudah dimulai sejak Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) pada tahun 2006 lalu. Saat itu mulai terbentuknya sejumlah partai lokal di Aceh dampak dari penjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Indonesia di Helsinki, Finlandia yang ditanda tangani 15 Agustus 2005. 

''Sejak itulah terjadi persaingan antar partai lokal yang bermunculan. Persaingan di kalangan elit politik Aceh menyangkut harga diri kelompok dan sulit dihentikan, selama pihak-pihak yang bertikai tidak mau menghentikannya,'' jelasnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement