Selasa 01 Apr 2014 19:19 WIB

Pilpres Diprediksi Dua Putaran

Rep: Andi Mohammad Ikhbal/ Red: Julkifli Marbun
Bakal calon Presiden dari Partai Persatuan Pembangunan(PPP) Suryadharma Ali memberikan keterangan pers di Sasana Ghanesa Bandung, Ahad (9/2).  (Septianjar Muharam)
Bakal calon Presiden dari Partai Persatuan Pembangunan(PPP) Suryadharma Ali memberikan keterangan pers di Sasana Ghanesa Bandung, Ahad (9/2). (Septianjar Muharam)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Penyelenggaraan Pemilihan Presiden (Pilpres) diprediksi berlangsung dua putaran bila tidak ada calon yang punya elektabilitas menonjol pascapileg 9 April mendatang. Masih ada sekitar 14 persen swing voters yang menjadi juru kunci seberapa besar perolehan suara pasangan calon Presiden nantinya.

Pengamat politik UGM, Ary Dwipayana mengatakan, kalau melihat hasil survei terakhir ini, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) memang belum menembus angka 50 persen, tidak seperti SBY pada 2004 silam. Masih ada sekitar 14 persen masyarakat yang belum menentukan pilihannya.

“Kalau Jokowi bisa merebut suara tersebut, maka pilpres cukup satu putaran, dia berpotensi menang. Namun kalau terdistribusi ke sejumlah calon lain, maka pemilu diprediksi berlangsung dua putaran,” kata Ary saat dihubungi Republika, Selasa (1/4).

Menurut dia, konfigurasi parpol baru terlihat pascapileg 9 April mendatang. Pilpres bisa berlangsung dua kali putaran kalau ada lebih dari dua pasangan calon. Dia menyatakan, masih terlalu jauh untuk menduga-duga hal tersebut.

Ary mengatakan, sejauh ini Jokowi memang mempunyai elektabilitas yang tinggi, bahkan meninggalkan jauh kompetitornya. Namun, pihak PDI Perjuangan harus mengantisipasi serangan-serangan politik dari capres dan parpol lain, apalagi menyangkut korupsi.

“Jokowi dan PDI Perjuangan harus mempertahankan tingkat elektabilitas yang ada sekarang. Kalau sampai ada manuver politik yang terbukti dapat menyudutkan Jokowi, maka akan berbahaya,” ujar dia.

Resminya pencapresan Jokowi dari PDI Perjuangan pastinya memancing sejumlah pihak mengusut-ngusut kesalahan dan kekurangannya selama menjadi Gubernur DKI Jakarta dan Wali Kota Solo. Berdasarkan survei CSIS kemarin, pilihan masyarakat bisa berubah kalau ada dugaan kasus korupsi yang menjerat calon tersebut.

Sekarang ini, kata dia, tergantung bagaimana Jokowi serta PDI Perjuangan menyikapinya. Kalau mereka merespon hal tersebut dengan bijak dan berani mengungkap bahwa tudingan tersebut tidak benar, maka pihak pelempar isu akan terkena dampaknya.

“Isu tersebut menjadi kontraproduktif. Masyarakat kemudian menilai calon tersebut tidak patut dipilih,” kata dia.

Menurut dia, publik sendiri sebenarnya tidak suka dengan kultur politik yang menyerang kompetitornya. Mereka cenderung empati pada pihak yang disudutkan, karena itu upaya Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto menurunkan popularitas Jokowi dan PDI Perjuangan dinilai tidak efektif.

“Prabowo dan Gerindra itu identik dengan gagasan. Kalau dengan majunya Jokowi, pola politiknya berubah menyerang, sama saja tidak konsisten,” ujar Ary.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement