Ahad 23 Feb 2014 23:21 WIB

Pengamat Khawatir Kemiskinan Picu Golput di Kepri

Pilpres dan Kemiskinan
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Pilpres dan Kemiskinan

REPUBLIKA.CO.ID, TANJUNGPINANG -- Kemiskinan merupakan salah faktor pemilih menjadi golongan putih atau tidak menggunakan hak suara pada pemilu di Provinsi Kepulauan Riau, kata pengamat politik Suradji, di Tanjungpinang, Minggu.

"Menurut hasil penelitian saya, ada beberapa pemicu pemilih tidak menggunakan hak pilihnya. Pertama, rendahnya tingkat kesejahteraan pemilih," ujar Suradji, yang juga Direktur Lembaga Kajian Kebijakan Publik dan Politik Lokal.

Menurut dia, sebagian masyarakat kurang mampu cenderung masih mementingkan bekerja untuk mendapatkan uang. Mereka menilai perekonomian rumah tangganya tidak akan berubah hanya dengan ikut mencoblos.

Sikap pesimistis itu yang mendorong mereka tetap bekerja dan tidak meluangkan waktu untuk menggunakan hak pilih di tempat pemungutan suara (TPS).

"Perekonomian yang sulit menimbulkan ada stigma negatif. Mereka berpikir, untuk apa buang-buang waktu ke TPS, karena lebih baik melaut, ke ladang dan lain sebagainya," ungkapnya, yang juga staf pengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Berdasarkan hasil survei Lembaga Kajian Kebijakan Publik dan Politik Lokal, golput juga dipicu sikap skeptis terhadap perilaku elit-elit politik yang gagal memenuhi janji-janji politik.

Masyarajat skeptis atau tidak peduli akibat tidak terpenuhinya janji-janji yang disampaikan oleh para politikus juga memberikan kontribusi tingginya golput.

"Mereka merasa banyak janji politik para caleg diabaikan setelah duduk sebagai anggota legislatif," ujarnya.

Pemicu golput yang ketiga adalah karena adanya upaya yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu supaya kertas suara yang tersisa dapat dimanfaatkan untuk memenangkan pihak tertentu.

"Cara-cara seperti ini dapat diatasi dengan meningkatkan pengawasan," katanya.

Suradji mengatakan, golput atau golongan putih yang merupakan sebutan bagi pemilih yang tidak menggunakan hak pilih dalam pemilu semakin lama makin memprihatinkan. Dari pemilu ke pemilu angka golput terus bertambah.

"Pemilu 2009 jumlah golput mencapai 30-an persen. Memang besar kecilnya angka golput tidak akan mempengaruhi hasil Pemilu. Biarpun angka golput lebih dari 50 persen, tetapi Pemilu akan tetap sah," kata mahasiswa Program Doktor Politik Islam Universitas Muhammadiyah Yogjakarta.

Namun, kata dia, golput akan merugikan pemilih itu sendiri. Satu suara dalam pemilu akan sangat menentukan seseorang terpilih atau tidak.

Jika semakin banyak pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya, sedangkan yang memilih adalah pemilih "bayaran", maka kualitas demokrasi menjadi taruhan.

Banyaknya anggota dewan atau politikus korupsi hari ini salah satunya disebabkan karena harus mengembalikan modal untuk melakukan mobilisasi pemilih dalam pemilu terdahulu.

"Untuk itu saya berharap agar warga masyarakat yang sudah memiliki hak pilih untuk menggunakan hak politiknya. Dan yang lebih penting adalah gunakan secara cerdas dan kritis agar Pemilu 2014 dapat menghasilkan para wakil rakyat yang berkualitas dan bermartabat," ucapnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement